Mungkinkah Perang Saudara akan Terjadi di Myanmar?
Selama sebulan terakhir, Rusia di media-media internasional digambarkan memiliki peranan yang cukup signifikan di Myanmar, terutama dalam mendukung kepemimpinan kudeta militer. Moskow sebenarnya tidak memiliki kepentingan yang berarti dengan Myanmar, dan Myanmar dalam peta politik Rusia tidak termasuk dalam rencana permainan geopolitiknya.
Namun para pemimpin junta militer, paria internasional yang sangat dihindari oleh Beijing dan Thailand, masih membutuhkan senjata untuk menindak perlawanan sipil terhadap pemerintahan kudeta.
Dengan adanya kesempatan ini, Rusia memiliki peluang bisnis yang cukup menguntungkan. Rusia dapat menjual senjata kepada rezim yang sedang dalam putus asa. Selain itu, Rusia juga menggagalkan segala upaya masyarakat internasional untuk menekan militer Myanmar agar minggir dari pemerintahan dan membiarkan rakyat Myanmar memerintah diri mereka sendiri secara demokratis. Bagi Moskow, ini adalah win-win solution.
Kasus ini dapat kita temukan kesamaannya dengan situasi di Suriah. Rezim Assad saat ini berada dalam puncak kejenuhannya. Rezim ini hampir terisolasi secara internasional ketika Rusia masuk ke dalam pusaran konflik dan memperkuat posisi Assad. Di Myanmar, Moskow tampaknya sama-sama senang terlibat dalam konflik untuk mendukung pihak rezim otoriter, membantu membuka jalan bagi perang saudara yang bisa berlangsung lama seperti yang kita lihat di Suriah.
Dan ketika warga sipil Myanmar membentuk milisi untuk melawan tentara, perang saudara terlihat semakin akan terjadi dalam waktu dekat. Jika komunitas internasional ingin berhasil mencegah Myanmar runtuh dan tidak menjadi negara gagal seperti Suriah, peran yang dimainkan Rusia dalam dinamika politik di Myanmar ini harus menjadi perhatian utama.
Biasanya, pada titik inilah AS dan sekutu Baratnya diharapkan memberikan semacam tawaran diplomatik ke Moskow. Namun sayangnya, jika kita mempelajari peta politik Rusia selama dekade terakhir, Presiden Rusia Vladimir Putin akan menolak untuk menerima upaya diplomatik apapun yang dilakukan oleh negara-negara yang dianggapnya “musuh.”
Karena itu, ika kita perhatikan, satu-satunya pemain yang mungkin berhasil menghentikan perang saudara yang sedang terjadi di Myanmar adalah Cina.
Cina dan Rusia sampai saat ini masih memiliki hubungan yang cukup mesra, meski agak kompetitif. Tetapi dalam konteks ini yang terpenting bagi Beijing ialah dapat mempertahankan pengaruh ekonomi yang besar atas Moskow, baik sebagai klien untuk gas alam Rusia, maupun sebagai investor dalam infrastruktur untuk jaringan perdagangan Belt and Road China.
Di samping kelebihan di atas, Beijing juga memiliki kans untuk mencoba mencegah perang saudara di perbatasan selatannya, paling tidak karena Beijing tidak ingin adanya jutaan pengungsi masuk ke wilayahnya jika konflik tersebut terjadi.
Selain itu, Beijing juga memiliki investasi Belt and Road yang cukup besar di Myanmar, dan semua itu akan sia-sia jika Myanmar terlibat dalam perang saudara yang berkepanjangan. Selain itu, ada juga predikasi akan terjadinya ketidakstabilan di negara-negara lain yang sudah rapuh di kawasan tersebut seperti Sri Lanka misalnya, yang tentunya dapat menimbulkan risiko lebih lanjut bagi Beijing.
Di sisi lain, dalam sejarahnya, Cina tidak memiliki naluri dan pengalaman untuk campur tangan dalam perselisihan semacam ini untuk menengahi dan mencegah bencana semacam itu. Jadi Baratlah yang harus membujuk dan mendukung Beijing dalam upaya apa pun untuk mencegah Rusia untuk ikut dalam zona konflik dan memberikan tekanan pada rezim Myanmar.
Namun, jika Barat mendekati Beijing untuk tujuan ini, pastinya akan menjadi sesuatu yang mencurigakan bagi Beijing sendiri. Jadi sebenarnya situasi perang saudara masih bisa untuk dihindari, tetapi ketidakpercayaan antara kekuatan internasional menghalangi langkah-langkah akal sehat untuk mencegah perang tersebut.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy