Negara Islam dan Sistem Ekonomi Berbasis Perang: Ulasan Ibnu Khaldun tentang Mode Produksi Negara Prakapitalisme (Part 2)

Dalam materialisme historis yang dikenalkan oleh Friedrich Engels dari hasil pembacaannya terhadap Karl Marx, kita mengenal dua istilah penting; pertama infrastruktur dan kedua, superstruktur. Infrastruktur yang meliputi di dalamnya sumber daya alam dan mode produksi ekonomi sangat menentukan superstructure yang meliputi di dalamnya ide-ide mengenai institusi politik, agama, budaya, social, filsafat dan seni.

Marx dalam hal ini menganut paham determinisme ekonomi ketika membaca mode-mode produksi yang berlaku di masyarakat Barat. Yang dimaksud dengan determinisme ekonomi di sini ialah paham yang menyatakan bahwa sistem ekonomi sangat menentukan sistem politik, budaya dan seterusnya.

Kalau kita turunkan istilah infrastruktur dan superstruktur dalam konteks sejarah Khilafah Islamiyyah, akan terlihat bahwa infrastrukturnya ialah mode produksi ekonomi berbasis perang sedangkan superstrukturnya ialah institusi politik, agama, budaya, pengetahuan dan seterusnya.

Hanya saja penggunaan dua istilah ini dalam mengamati proses kesejarahan Khilafah Islamiyyah ini mengundang pertanyaan lanjutan, yakni apakah relasi infrastruktur dan superstrukturnya bersifat sebab akibat ataukah tidak? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita lihat terlebih dahulu apa itu mode produksi ekonomi perang.

Berdasarkan tulisan sebelumnya, kita telah melihat bahwa sejarah Islam dalam pandangan Ibnu Khaldun merupakan sejarah yang siklistik; siklus proses kesejarahan dari kehidupan nomaden yang kemudian beralih menuju kehidupan urban melalui peperangan. Atas dasar ini, mode produksi ekonomi masyarakat Badui-Hadari yang peralihannya dilakukan dengan perang ini sangat berbeda tentunya dengan mode produksi yang dianalisis oleh Karl Marx dan para pemikir Eropa lainnya. Perbedaannya dapat kita lihat pada beberapa poin berikut;

Pertama, kekuatan-kekuatan produksi berbasis perang ini bukanlah kekuatan produksi ekonomi murni, tapi lebih kepada “kekuatan perang”. Yang dituntut di sini ialah ciri-ciri fisik dan mental yang dengannya seseorang di masa silam itu dianggap sebagai penyerang tangguh. Ciri fisik terejawantahkan dalam kekekaran otot, lengan, bahu, keahlian dan pengalaman perang dan ciri mental termanifestasikan dalam adanya sifat seperti berani, cerdik, lihai. Ini semua dibutuhkan dalam perang.

Kedua, atas dasar ciri-ciri fisik dan ciri-ciri mental yang dituntut dalam perang ini, relasi-relasi social yang berlaku pada masyarakat ini bukanlah relasi produksi seperti yang diistilahkan Kar Marx, tapi lebih kepada relasi tertentu yang disebut al-Jabiri dalam Fikr Ibnu Khaldun sebagai relasi ashabiyyah. Relasi Ashabiyyah/relasi komunal ialah suatu relasi yang memisahkan dua pihak dalam perang dimana individu-individu pada satu pihak memiliki kohesi dan solidaritas social sehingga saling menguatkan satu sama lain dalam melawan pihak lain selama perang masih terjadi.

Adapun ketika perang selesai dan dimenangkan oleh kubunya, yang terjadi ialah sikap kewaspadaan dan permusuhan yang muncul di kalangan individu-individu dalam satu ashabiyyah yang berkuasa tersebut. Munculnya sikap saling curiga dan saling memusuhi dalam pihak yang menang disebabkan oleh adanya konfilik kepentingan. Konflik kepentingan ini meruncing di antara individu-individu yang menang perang, semacam kepentingan menguasai aset-aset negara seperti harta rampasan perang serta pembagian wilayah yang telah ditaklukan.

Mereka dulunya bersatu saat berjuang memerangi pemerintah, dan saat menang dan menduduki pemerintahan, mereka malah saling berebut kepentingan yang pada ujungnya, kekuasaan yang telah mereka peroleh jatuh dan direbut oleh kabilah-kabilah Badui lainnya yang memiliki ashabiyyah kuat.

Atas dasar ini, konflik kepentingan antar individu dalam satu ashabiyyah yang berkuasa ini malah menghambat kemajuan. Sebab, konflik ini tidak lahir dari proses produksi ekonomi yang alami. Konflik kepentingan ini lahir dari jabatan dan kekuasaan dalam tubuh pemerintahan.

Ketiga, income dalam mode produksi perang seperti ini bukan berasal dari proses kegiatan ekonomi yang wajar dan alami, bukan berasal dari berjuang menaklukan alam, bukan pula berasal dari hasil eksploitasi terhadap kelompok social tertentu oleh suatu kelompok social yang lain (misalnya Borjuis dan Proletar kalau dalam bahasa Marx).

Income dalam mode produksi seperti ini biasanya didapat dari penguasaan terhadap asset-aset alam yang sudah tersedia (seperti binatang ternak dan susu yang diperas dari hewan) di masa kerasnya kehidupan Badui (khusyunatul badawah) dan aset-aset social (seperti pajak, bea cukai, perampasan harta rakyat) di masa ketika orang-orang Badui berubah menjadi pejabat dalam pemerintahan di ibu kota (riqqat al-hadharah).

Keempat, superstruktur pada negara Khilafah Islamiyyah ini tidak memiliki kaitan erat dengan infrastrukturnya. Hal demikian tentunya, tidak seperti dalam masyarakat kapitalis yang dianalisis Karl Marx dimana infrastruktur menentukan superstruktur  ( perubahan pada mode produksi akan berpengaruh terhadap sistem politik, budaya, social dan seterusnya), dalam sistem Khilafah Islamiyyah, infrastruktur tidak selamanya menentukan superstruktur. Dua-duanya bisa menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Artinya di sini, factor ekonomi bukanlah satu-satunya yang menggerakan sejarah seperti halnya analisis Karl Marx tentang mode produksi kapitalisme di Eropa. Dalam analisis Ibnu Khaldun, paling tidak, ada dua factor lain selain kekuatan ekonomi yang turut berpengaruh terhadap laju sejarah, yaitu pertama, ashabiyyah, yakni, kohesi social/solidaritas sosial dalam suatu kabilah sehingga membentuk kekuatan politik untuk berkonfrontasi; dan kedua, agama, yaitu  berupa madzhab fikih, akidah atau doktrin amar ma’ruf nahi munkar atau slogan tertentu yang kemudian dijadikan ideologi politik suatu kelompok sosial.

Otoritas politik dalam sistem Khilafah Islamiyyah ini bukan dihasilkan dari penguasaan terhadap kekuatan-kekuatan produksi tapi lebih didorong oleh solidaritas ashabiyyah yang tinggi sehingga dengan ashabiyyah ini kabilah-kabilah Badui terdorong untuk berusaha menggulingkan pemerintah atau kerajaaan yang sedang berkuasa, dan sebagai dampaknya, mereka mendapatkan kemewahan-kemewahan hidup hasil dari jerih payah kekuasaan ini, yang di antaranya ialah income yang banyak. Jadi simpulnya, kekuasaan politik dalam sistem pemerintahan seperti ini didapat bukan dari pemilikan terhadap mode produksi ekonomi, malah sebaliknya, kekuasaan politik dapat menghasilkan kekuatan ekonomi (jabatan dapat menghasilkan uang).

Meski pengaruhnya sama besarnya dengan ashabiyyah dan agama, tetap saja mode produksi ekonomi berbasis perang ini menurut pandangan Ibnu Khaldun ialah yang paling bertanggung jawab bagi adanya instabilitas pada tataran politik, social dan budaya dalam sejarah peradaban Arab-Islam.

Pertanyaan yang bisa kita ajukan lagi terkait mode produksi ekonomi berbasis perang ini ialah, kenapa Khilafah Islamiyyah menganut sistem ekonomi yang tidak produktif, malah konsumtif ini? Kenapa dalam kitab-kitab fikih, kita temukan banyak pembahasan bagaimana harta rampasan perang dibagikan, bukan bagaimana dikembangkan?

Semua itu tentunya karena watak kebaduian yang masih terbawa saat mereka memangku negara. Kabilah-kabilah Badui tidak kenal apa yang kita sebut sekarang investasi, menabung untuk masa depan dan seterusnya. Harta yang mereka dapatkan langsung dikonsumsi dan habis. Mereka tak pernah terpikir untuk menyimpannya dan menginvestasikannya. Yang ada sekarang ya dihabiskan sekarang. Watak seperti ini terbawa saat mereka menduduki posisi pemerintahan.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved