Pancasila dan Gotong Royong

Sebelum merdeka dan menjadi negara, bangsa Indonesia telah melewati sejarah ratusan hingga ribuan tahun. Sudah diakui dunia bahwa dalam rentan waktu yang panjang tersebut, Indonesia adalah bangsa besar. Bangsa yang kaya. Bangsa yang penuh dengan kearifan. Indonesia juga memberikan catatan sejarah yang panjang tentang bagaimana mengatur kehidupan mereka. Juga bagaimana berinteraksi dengan bangsa dan negara lain. Sehingga tidak berlebihan jika Indonesia disebut sebagai bangsa yang jaya.

 

Kata “jaya” bagi Indonesia bukanlah hal yang berlebihan. Hal ini bisa dilihat dari Majapahit atau Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan besar di muka bumi. Kejayaan kerajaan tersebut bukan hanya direpresentasikan dengan harta yang melimpah. Namun juga kebudayaan dan kerukunannya yang tinggi. Juga dengan sistem pemerintahan yang sudah tinggi di zamannya. Wilayah kekuasaan Nusantara yang luas juga menunjukkan kerja keras dan kebersamaan. Besarnya wilayah disatukan dengan semangat kebinekaan yang tunggal ika.

Kejayaan Indonesia juga bisa terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarah. Seperti peninggalan Candi Borobudur dan Prambanan. Borobudur bukan dikerjakan oleh para budak, namun rakyat secara sukarela (gotong royong). Bangsa kita pada juga dikenal mempunyai spiritual tinggi. Dari segi teknologi, kala itu bangsa Indonesia juga dikenal sudah mencapai kemajuan. Hal ini tercermin dari armada angakatan bersenjata yang dimiliki kerajaan besar zaman dahulu.

Kejayaan Indonesia sebagai bangsa mengalami keterpurukan ketika kolonialisme datang. Penjajahan yang dibangun atas perpecahan bangsa telah menghilangkan kebesaran Indonesia. Perpecahan antar suku bangsa, perebutan kekuasaan antar elit masyarakat menjadi Indonesia dengan mudah dimanfaatkan bangsa asing. Potensi perpecahan juga diciptakan dan dipelihara kaum kolonialis. Akhirnya Indonesia menjadi bangsa jajahan yang mudah diadu domba. Lebih miris lagi, keadaan ini dilakukan para penjajah dengan bekerja sama dengan elit kerajaan yang berhasil mereka bujuk rayu dengan harta benda. Sehingga rela ikut serta menjadi antek penjajah.

Kesadaran akan kebesaran Indonesia sebagai bangsa baru muncul kembali pada awal abad dua puluh. Kala itu sejumlah anak bangsa yang terpelajar menyadari keterpurukan bangsanya. Maka muncullah sejumlah kelompok pelajar. Sebut saja perkumpulan Boodie Oetomo yang berasal dari mahasiswa Stovia Batavia. Setelah itu juga muncul perkumpulan pelajar-pelajar lain di sejmlah daerah. Semangat kebangsaan yang berkobar membuat mereka berikrar dalam “Sumpah Pemuda” 28 Oktober 1928.

Akhirnya semangat bersama untuk mengembalikan kejayaan bangsa terus dikobarkan hingga pada tahun-tahun setelahnya. Mereka mencapai puncak pada saat proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.

Bung Karno sebagai salah satu aktor utama kemerdekaan sejak lama menyadari atas kebesaran bangsanya. Maka ketika berpikir dan berjuang untuk kemerdekaan dia juga memikirkan dasar serta landasan yang akan menjadi komponen penting negara baru bernama Indonesia. Dasar ini menjadi penting karena di sanalah semua akan berpijak.

Semua sejarah yang terjadi di Nusantara ini bagi sejumlah orang mungkin hanya catatan tanggal, tokoh, peristiwa dan waktu. Namun bagi tokoh besar, ini adalah inspirasi besar dari bangsa besar untuk cita-cita kebangsaan yang besar. Bung Karno tidak hanya memandang candi sebagai sebuah bangun belaka. Namun setiap relief, gambar yang terdapat di dalamnya adalah pelajaran penting untuk bangsa ke depan. Artinya jauh sebelum merdeka, Indonesia adalah bangsa yang lengkap. Sehingga untuk ajaran tidak perlu mengambil dari bangsa asing. Cukup menggali dari kekayaan bangsa sendiri.

Perenungan Sukarno tentang cita-cita kebesaran bangsa Indonesia membuatnya melihat kembali kepada kebesaran Indonesia di masa lalu. Dia juga melihat pada kekayaan Indonesia yang masih bisa dilihat. Seperti keberagaman, kekeluargaan, gotong rotong, dan lainnya. Dari sinilah kemudian memuculkan Pancasila yang sangat fenomenal. Menurut Sukarno, dia tidak pernah menciptakan Pancasila. Dia hanya menggali Pancasila dari kekayaan dan kebesaran bangsa. Namun tanpa Sukarno tidak ada istilah Pancasila.

Sebelum 1 Juni 1945 praktis kata “Pancasila” tidak dikenal di Indonesia atau dunia. Jika saja Bung Karno tidak menyebut “Pancasila” pada pidatonya di Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) kala itu praktis sangat mungkin berbagai dasar pedoman lainnya yang menjadi dasar negara.

Pancasila digali Bung Karno dari bumi Indonesia. Digali dari jiwa dan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila itulah yang menurut Bung Karno merupakan cermin dari kepentingan semua golongan, suku dan agama. Satu untuk semua. Pidato Bung Karno tentang Pancasila ini secara aklamasi disetujui BPUPKI sebagai dasar negara, sebagai falsafah bangsa dalam menuju cita-cita merdeka, bersatu, berdaulat, adil-makmur. Bung Karno aktif mensosialisasikan pancasila melalui pidato, ceramah, kursus, kuliah umum, ke seluruh pelosok Indonesia.

Beruntung Bung Karno berhasil menggali Pancasila yang merupakan intisari peradaban Nusantara.

Persatuan harus dijaga, dan Pancasila adalah faktor penting pengingat dan pemelihara persatuan untuk Indonesia agar merdeka selamanya.  Pancasila tidak bisa dipisahkan dari perjuangan rakyat merebut kemerdekaan. Pancasila menjadi penyatu perjuangan rakyat Indonesia. Bung Karno sering mencontohkan, sebelumnya banyak perjuangan yang gagal karena tidak mempersatukan rakyat dari Sabang hingga Marauke. Padahal perjuangan-perjuangan itu dilakukan oleh tokoh dan rakyat secara hiroik di daerah mereka.

Pancasila pada hakikatnya juga watak serja jatidiri Nusantara yang berasaskan gotong royong, semangat kebersamaan dan sistem sosial kehidupan masyarakat Nusantara dimana pun berada. Gotong royong yang terjadi dan menjadi budaya dalam masyarakat bukan hanya sebuah kegiatan yang dilakukan secara bersama. Banyak unsur yang terdapat dalam gotong, selain kebersaam, ada kebersatuan sepenanggungan dan ada juga untur ketuhanan dan spritualitas. Ini merupakan spirit untuk menjalani kehidupan, menyelesaikan masalah, dan mensyukuri segala kebaikan dan kemulyaan secara bersama. Sebagai jati diri bersama, Pancasila adalah cerminan satu untuk semua dan semua untuk satu.

Pancasila bukan hanya alat pemersatu bangsa, namun juga bercita-cita mempersatukan bangsa-bangsa di dunia. Sebagaimana Indonesia dikenal sebagai pengggas terbentuknya the new emergencing forces (nefos) sebagai lawan dari the old emergencing forces (oldefos). Cita-cita Pancasila dalam berperan aktif membentuk perdamaian dunia turut menginspirasi lahirnya Dasasila Bandung yang menjadi prinsip-prinsip dasar yang disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika tahun 1955. Dasasila Bandung inilah yang menjadi dasar dari Gerakan Non-Blok.

Tahun 1967 Bung Karno turun dari tumpuk kepemimpinan nasional. Perjalanan sejarah berikutnya terjadi tindakan untuk menghapus kaitan Bung Karno dengan Pancasila. Usaha tersebut dapat dilihat dari ditetapkannya 18 Agustus sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni secara resmi dilarang dan Pancasila disebut sebagai rumusan Muhammad Yamin, Supomo dan Sukarno.

Pada perjalanan sejarah selanjutnya, Pancasila kemudian diberi tafsir baru dalam bentuk pelajaran Pendidikan Moran Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4). Praktinya Pancasila justru dirasakan oleh banyak kalangan telah dimanipulasi untuk mempertahankan kekuasaan. Dirasakan pula Pancasila telah dijadikan alat pemukul kepada siapapun yang kritis terhadap pemerintah, dan semakin hari penerapannya semakin melenceng dari aslinya yakni untuk pemahamannya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Bung Karno.

 Pada era pasca reformasi keberadaan Pancasila semakin tereduksi, MPR RI justru meletakkan pancasila dalam empat pilar kebangsaan, padahal Pancasila lebih dari itu, Pancasila adalah ideologi bangsa-bangsa yang bisa mempersatukan dunia. Mereduksi pancasila dalam bungkus 4 pilar sungguh tidak tepat, sebab pancasila adalah nilai budaya, identitas bangsa, filsafat negara, dan ideologi nasional, Pancasila juga merupakan platform nasional yang dengan penuh toleransi diterima semua agama sebagai konsensus nasional. Pancasila adalah “paham persatuan” sekaligus “kebijakan nasional” untuk mempertahankan persatuan nasional.

Oleh : Yasin Mohamamad (Direktur Eksekutif LSIN)

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved