Pengaruh Filsafat Hermes dalam Perumusan Doktrin Trinitas Kristen
Untuk menyingkap apa yang Hermetis dalam doktrin trinitas Kristen, tentu ada dua aspek dasar yang perlu diketahui terlebih dahulu; pertama, apa yang dimaksud Hermetisme dan kedua apa yang dimaksud trinitas. Lalu apa relasi yang sifatnya pengaruh-mempengaruhi antara keduanya dan bagaimana relasi ini terjalin sehingga yang kedua memiliki jejak-jejak yang pertama.
Dengan kata-kata lain, pertanyaan lebih tepatnya ialah apa sebenarnya yang hermetis dalam doktrin trinitas Kristen. Untuk menjawab ini, perlu kiranya disajikan terlebih dahulu pengetahuan yang ditawarkan Hermetisme baru kemudian dikemukakan konsep dasar yang ditawarkan Trinitas. Setelah itu, kita akan coba melihat jejak-jejak ajaran Hermes yang masih tersisa dalam trinitas.
Dalam tradisi Hermes, ada dua konsep ketuhanan; yang pertama, konsep mengenai Tuhan Transendental dan kedua, konsep mengenai Tuhan Pencipta. Kalau kita baca dari perspektif Neo-Platonisme - aliran filsafat yang mendapat pengaruh dari kosmologi ajaran Hermes - Tuhan Transendental disebut sebagai Yang Esa dan Tuhan Pencipta disebut juga sebagai Nous.
Yang pertama merupakan Tuhan yang transenden, tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia dan terpisah dari alam semesta. Kemudian karena ingin dikenal dan diketahui, lalu terpancarlah dalam dirinya berupa Nous yang dengannya alam semesta tercipta. Kelak Nous ini dalam tradisi Hermes, menurut Festugiere dalam Hermes Trimegiste, disebut sebagai Tuhan Pencipta. Tuhan inilah yang memiliki hubungan dengan alam semesta karena ia telah menciptakan dan mengaturnya.
Sementara itu, Tuhan Transendental tidak memiliki kaitan sama sekali dengan alam karena posisinya Yang Maha Tinggi dan Maha Suci dari berhubungan dengan yang baru. Selain Tuhan Transenden dan Tuhan Pencipta, dalam tradisi Hermes juga, dikenal Jiwa Semesta. Jiwa ini bersifat kekal yang berfungsi menghubungkan Tuhan Transenden dengan Tuhan Pencipta. Jiwa semesta ini sebenarnya konsepnya agak mirip dengan yang ditawarkan Plotinus mengenai Psyike ‘Jiwa’. Tuhan Pencipta tidak akan memancar dari Tuhan Transenden tanpa ada Jiwa Semesta ini.
Konsep ini pada tahapan selanjutnya sangat berpengaruh terhadap filsafat Timur secara keseluruhan, terutama agama-agama yang lahir di sekitarnya, terlebih Kristen. Kekristenan saat itu menyebar ke wilayah-wilayah seperti Antiokia, Jundisapur, Iskandaria, Palestina, Libia dan beberapa wilayah lainnya yang menjadi pusat penyebaran ajaran Hermes.
Lalu Kristen yang semula berpaham monoteisme ini dan yang kemudian melakukan kontak dengan tradisi filsafat, terutama filsafat Hermes, mengalami perubahan dalam sistem teologinya, yang pada tahap awal perkembangannya bersifat sederhana menjadi kompleks, dari agama menjadi paham yang bersifat filosofis dalam sistem keimanannya.
Pasca berinteraksi langsung dengan filsafat ini dan terjadi benturan dengannya, Kristen akhirnya mengadopsi perpaduan antara filsafat dan agama. Peleburan ini kemudian melahirkan paham monoteisme dan hermetisme secara bersamaan dan memproduksi doktrin trinitas. Kesimpulan ini dapat dilihat dari latar belakang tokoh-tokoh yang mencetuskan trinitas seperti Ignatius dari Antiokia, Klemens dari Alexandria, Valentinius dari Jundisapur dan lain-lain. Dengan melihat secara sekilas wilayah asal ketiga tokoh tersebut, akan terlihat bahwa mereka berasal dari daerah-daerah yang sudah mengalami hermetisasi sedari awal dan karenanya secara ide dan gagasan, mereka mengalami kontak langsung dengan pengetahuan yang menjadi rezim dominan saat itu.
Hal demikian seperti juga yang ditegaskan oleh Thomas Aquinas dalam Summa Theologica yang menyatakan adanya kemiripan dan kedekatan antara ajaran Hermes Trismejiste dan ajaran trinitas: The Monad begot a monad, and reflected upon itself its own heat ‘Monade melahirkan monad, dan memancarkan cahaya dari dirinya sendiri.’
Tritunggal atau trinitas dalam ajaran Kristen merupakan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tiga hipostasis, yakni bahwa Allah itu ialah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ketiganya merupakan sebuah sifat yang hanya bisa dibedakan berdasarkan fungsi dan tugasnya. Bapa memiliki posisi sebagai sifat yang melahirkan, Putera berposisi sebagai sifat yang dilahirkan dan Allah Roh Kudus memiliki posisi sebagai ruh atau nafas ilahi yang menghubungkan keduanya. Jadi Kristen berkeyakinan bahwa tidak ada tiga pribadi Allah. Yang ada ialah Allah dengan tiga sifat.
Selain itu, Kristen lahir dari latarbelakang Yahudi yang menganut ajaran monoteisme, sehingga yang mau dijawab dalam teologi Kristen bukan “keberapaan Allah”, tetapi “kebagaimanaan Allah Yang Esa” (dalam bahasa Ibrani disebut Elohim Ehad dan dalam bahasa Arab disebut Allahu Ahad).
Lalu bagaimana dengan Bapa, Putra dan Roh Kudus? Apakah ketiganya merupakan pribadi? Bapa adalah kata kiasan untuk Wujud Allah, Putra adalah Firman-Nya, dan Roh Kudus atau Hayat/Hidup Allah. Demikian seperti yang dijelaskan oleh as-Syahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal dan Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib. Dengan kata-kata lain, secara sederhananya, meski masih kurang tepat tapi sekedar untuk ilustrasi yang lebih jelas, Allah itu ibarat wujud kita, Putera itu ibarat kata-kata yang diproduksi oleh kita, sedangkan Roh Kudus itu ialah nafas yang kita keluarkan saat berkata-kata. Jadi kata-kata yang kita produksi tidak akan terdengarkan jika tidak ada angin atau nafas. Begitulah secara sederhananya.
Jadi, pembedaannya ialah Bapa itu bukan Anak dan bukan Roh Kudus dan begitu juga sebaliknya namun Bapa, Putra dan Roh Kudus itu Allah yang Esa. Ketiga-tiganya merupakan hipostasis, yang dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris masing-masing diterjemahkan secara kurang tepat sebagai pribadi atau person. Penerjemahan ini mengandaikan tiga orang yang dijadikan satu. Dan dalam Kristen, keyakinan ini keliru. Yang benar adalah Allah dengan sifat melahirkan, dilahirkan dan yang menghubungkan keduanya, yakni nafas. Dengan kata-kata lain, ketiga-tiganya ialah entitas yang sama dan identik. Dengan demikian, Allah itu Bapa, Putera, dan Roh Kudus.
Dalam diri Bapa yang ingin dikenal, terpancar Anak sebagai firman yang dilahirkan dari-Nya. Dengan Firman ini, terciptalah alam semesta melalui nafas ilahi atau Roh Kudus. Roh Kudus ini jangan dipahami sebagai malaikat Jibril dalam tradisi Islam. Roh Kudus merupakan nafas atau ruh yang bersemayam dalam diri Bapa dan Anak. Dengan Roh Kudus ini, Bapa melahirkan Anak atau Firman. Dengan Roh Kudus ini, Firman dapat mencipta langit dan bumi dengan titah kalam Kun (jadilah) maka terciptalah semesta Fa Yakun (maka jadilah).
Dalam tradisi Kristen, Anak/Firman Kun yang dengannya tercipta alam semesta ini mewujud nyata dalam tubuh manusia, yakni menjadi Yesus Kristus, putera Maryam dan karena Putera ini di zaman azali telah menciptakan langit dan bumi dan pasca wafatnya ia duduk di samping Bapa dan diberi kekuasaan olehnya untuk menguasai kerajaan surga, maka ia disebut juga sebagai Tuhan. Tuhan Bapa sebutannya ilah yang ma’bud dan Tuhan anak sebutannya rabb yang melaluinya manusia dapat memperoleh kebahagiaan di kerajaan surga. Karena itu, ketika kita menemukan konsep La Ilaha illa Allah dalam Kristen Arab, maka yang dimaksud ilah di sini ialah yang ma’bud, dan karenanya ia adalah Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Sejenak jika kita bandingkan kembali dengan ajaran Hermes, Bapa ini memiliki padanannya dengan Tuhan transendental dan Putera memiliki padanannya dengan Tuhan Pencipta. Sedangkan Roh Kudus secara konseptual hampir mirip dengan Jiwa/Nafas Semesta (an-nafs al-kauniy), yakni nafas yang berfungsi menghubungkan Tuhan Transendental dan Tuhan Pencipta dan yang menghubungkan Tuhan Pencipta dengan alam semesta.
Pemikiran trinitas karenanya bersifat agama sekaligus filosofis. Pemikiran ini lahir dari ijtihad para tokoh Gereja dalam memahami identitas Yesus Kristus sebagai logos (firman Allah) dan hubungannya dengan Tuhan Bapa. Karena saat itu teori dan metode penafsiran Kitab Suci belum berkembang secara pesat dan kebutuhan untuk berbeda dari konsep monoteisme Yahudi makin mendesak, maka kerangka pandang hermetis kemudian diadopsi untuk mengisi kekosongan yang ada. Lalu lahirlah doktrin trinitas yang dalam beberapa tahapan selanjutnya mentahbiskan ketuhanan Yesus.
Simpulnya, dalam dogma trinitas, terdapat jejak-jejak hermetisme dan neo-platonisme. Dogma ini tidak lahir dari Kitab Suci melainkan dari hasil ijtihad para tokoh Gereja yang terpengaruh oleh filsafat dalam merumuskan relasi Yesus dan Allah Bapa. Dogma trinitas merupakan perpaduan antara paham monoteisme Kristen awal dan filsafat Hermes. Dalam perpaduan itu, trinitas tidak sepenuhnya monoteis dan tidak pula sepenuhnya hermetis. Gabungan keduanya mengandaikan filsafat positif, yakni bahwa Allah itu Bapa, Putera dan Roh Kudus yang ko-subsisten. Namun gabungan keduanya juga menghasilkan filsafat negatif, yakni bahwa Allah Bapa itu bukan Allah Putera dan bukan pula Allah Roh Kudus melainkan ketiga-tiganya berada dalam Allah yang Esa.
Jika kita terima bahwa Allah dalam doktrin trinitas itu memiliki tiga sifat yang disebutkan tadi dan karena itu monoteis, lalu apa makna doktrin thalithu thalathah yang dikritik oleh al-Quran dalam surat al-Maidah ayat 73 tersebut, doktrin yag arti harfiahnya ialah Yang ketiga dari Tiga, suatu konsep yang mengandaikan bahwa Allah itu Tuhan yang Ketiga dari urutan dua Tuhan sebelumnya, Tuhan Pertama dan Tuhan Kedua?
Pertanyaan ini memang sudah keluar dari fokus tulisan ini namun sudah pernah saya jawab dalam artikel lain di tulisan-tulisan sebelumnya.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy