Perang Senyap Israel-Iran dan Dominasi Ekstremisme
Dalam sebuah insiden yang cukup menarik untuk diamati, personel Hizbullah yang meluncurkan serangan roket ke Israel dicegat oleh penduduk desa Druze pada akhir pekan ini. Mereka semua ditahan. Yang paling menarik lagi, foto-foto peluncur roket Hizbullah yang disita dan diletakkan di belakang truk milik warga dipublikasikan secara online. Peristiwa ini cukup memalukan bagi Hizbullah.
Penduduk setempat memang berhak marah kepada Hizbullah karena desa mereka digunakan sebagai tempat peluncuran misil. Jika hal demikian terjadi, Israel tentunya diprediksi akan membalas serangan ini secara lebih agresif. Serangan pertama Israel terhadap tanah Lebanon terjadi sekitar tujuh tahun lalu. Hizbullah memang akan menjadi pihak yang berteriak paling keras jika wilayah Lebanon ini diserang namun pastinya mereka akan melepas tanggung jawab jika roketnya menghantam sekolah, rumah sakit, dan rumah di Israel.
Serangan Hizbullah semacam ini tidak ada hubungannya dengan "membela" Lebanon. Serangan ini bisa disebut sebagai bagian dari propaganda yang dapat menyulut amarah Israel secara lebih destruktif. Apalagi ketika mulai menyerang balik, Israel dikenal sebagai negara yang tidak memiliki sedikit rasa hormat terhadap hak asasi manusia. Ketika diserang, Israel akan menyerang balik bahkan secara lebih agresif dari serangan musuhnya.
Namun, terlepas dari serangan balasan Israel, serangan-serangan Hizbullah ke Israel ini merupakan serangan yang tidak bertanggung jawab apalagi di tengah kondisi Lebanon saat ini yang sedang berada di ambang kehancuran total.
Namun menariknya, apa yang dilakukan Hizbullah ini hanyalah salah satu elemen propaganda perang Iran. Tujuannya ialah untuk memperkuat dominasi Teheran di seluruh wilayah, dan meningkatkan pengaruh diplomatiknya dalam negosiasi nuklir. Seolah Hizbullah tidak terlalu peduli dengan Lebanon. Yang terpenting baginya ialah memastikan bahwa Iran memiliki pengaruh di wilayah Timur Tengah.
Iran memiliki pengalaman puluhan tahun dalam meningkatkan aktivitas agresifnya tahap demi tahap di wilayah Timur Tengah. Dunia hampir tidak memperhatikan perkembangan ancaman dari Iran ini. Misalnya, sebelum tahun 2006, kemampuan rudal Hizbullah bisa dikatakan minim dan dalam beberapa hal memalukan. Roket Hizbullah sering salah sasaran.
Tapi saat ini tak seorang pun, apalagi Israel, yang menertawakan kemampuan rudal Hizbullah, Al-Hashd Al-Shaabi atau Houthi yang menjadi proksi Iran. Mereka mendapat dukungan senjata dan logistik dari Iran. Merespons hal ini, pensiunan jenderal Israel Zvika Haimovich dengan tajam berkomentar: “Kami hampir mencapai titik di mana Israel harus bertindak melawan Hizbullah.”
Manifestasi lebih lanjut dari eskalasi konflik ini ialah penggunaan teknologi drone oleh Iran dan sekutunya. Drone memang relatif murah, serta sulit dideteksi, dan memiliki kemampuan menembus zona aman. Pada tahun 2021, sembilan serangan pesawat tak berawak dan 21 serangan roket telah berhasil menargetkan fasilitas AS di seluruh Irak. Cyberwarfare ini merupakan strategi perang Iran yang paling murah dan jitu dan bahkan mampu menggertak musuh-musuhnya.
Bahkan dengan strategi ini, Teheran pun kebingungan dengan dampaknya dan terkadang tidak bisa dikendalikannya. Misalnya soal betapa mudahnya militan Hashd Irak menghujani AS dengan rudal dan “drone” hanya dengan dipandu GPS. Dengan cyberwarfare ini, Iran sendiri telah menciptakan monster yang tidak selalu bisa dikendalikannya. Dulu, Qassim Soleimani mengelola faksi-faksi ini dengan tangan besi dan cukup bisa dikendalikan.
Namun, penggantinya sebagai kepala Pasukan Quds, Esmail Qaani—yang tidak bisa berbahasa Arab— seringkali tidak begitu diperhitungkan oleh para militan keras ini, apalagi dalam perjalanan berkalanya ke Baghdad. Para militan buatan Iran ini menyerang Amerika dengan cara mereka sendiri, bahkan tanpa komando Iran. Hal ini tentu menciptakan lingkungan geopolitik yang jauh lebih berbahaya. Sebab, konflik besar bisa saja meletus, bahkan ketika Iran dan Israel sendiri tidak menginginkannya.
Selain menciptakan proksi-proksi yang sulit diatur, Iran juga semakin meningkatkan kapasitas perangnya, terutama dengan melakukan serangan ke kapal-kapal yang mengangkut barang-barang di Teluk, Selat Hormuz, Bab El-Mandeb dan bahkan di Mediterania timur. Wilayah ini merupakan rute penting untuk keamanan energi dan pemertahanan ekonomi global.
Saat ini, terjadi perang bayangan antara Israel dan Iran. Dua negara ini saling menyerang di dunia maritim. Satu-satunya serangan terbaru yang cukup mengejutkan akhir-akhir ini ialah serangan terhadap Mercer Street, sebuah kapal yang dikelola oleh perusahaan milik Israel yang ditabrak oleh pesawat tak berawak buatan Iran. Insiden ini menewaskan dua orang warga Inggris dan Rumania.
Sebenarnya dalam tiga tahun terakhir, ada lebih dari 150 serangan terhadap kapal semacam ini. Dalam serangan tersebut, Iran menggunakan drone, ranjau, bom yang dipasang di lambung kapal, roket, dan kapal bermuatan bahan peledak. Dalam kebanyakan kasus, serangan-serangan ini belum diakui oleh pihak-pihak terkait.
Dan di sisi lain, salah satu kapal perang terbesar Iran baru-baru ini tenggelam dalam keadaan misterius. Semua peristiwa ini berjalan paralel dengan belasan serangan terhadap infrastruktur militer, nuklir dan sipil Iran yang mungkin dilakukan oleh Israel. Anehnya, di tengah serangan-serangan seperti ini, kedua pihak belum benar-benar terjerumus ke dalam perang besar-besaran.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh fakta bahwa Israel dan Iran keduanya sekarang dipimpin oleh tokoh-tokoh yang namanya telah lama dikenal sebagai penganut ekstremisme fanatik yang berlebihan. Bahkan dari sekian tokoh ekstrem kanan Israel, Naftali Bennett merupakan salah satu tokoh politik yang secara terbuka menganjurkan pengusiran semua orang Palestina dan mencaplok Tepi Barat dan perlunya membunuh orang-orang Arab.
Lebih buruk lagi, Netanyahu mengkritik bahwa Bennett tidak cukup jantan untuk melakukan apa yang diperlukan terhadap Iran. Sebagai respon terhadap Netanyahu, pada minggu lalu Bannet menyampaikan di acara TV hammy dengan mata mengancam ke kamera: “Kami tahu bagaimana menyampaikan pesan ke Iran dengan cara kami sendiri.”
Sementara itu, Iran akan melantik presiden terbaru dari kalangan ekstremis juga. Sebuah pengadilan di Swedia akan terus menjadi pengingat akan hal ini. Salah satu mantan kroni Ebrahim Raisi dituntut atas pembunuhan massal terhadap para pembangkang pada tahun 1988 — sebuah pembantaian yang dibanggakan oleh Raisi.
Bukan hanya seorang ekstremis garis keras, Raisi merupakan sosok yang menghabiskan karirnya untuk melaksanakan tugas-tugas berdarah yang terlalu sulit dilakukan oleh para ekstremis garis keras lainnya. Dari dua kenyataan ini, seberapa khawatirkah kita tentang prospek keamanan dunia?
Dan anehnya, Uni Eropa mengirim diplomat tinggi Enrique Mora ke pelantikan Raisi ini? Padahal begitu banyak sikap keras Eropa terhadap kondisi demokrasi dan pelanggaran hak asasi manusia di Iran. Dengan dipimpin presiden “moderat” saja, Iran sudah begitu bahaya. Tentunya, dengan terpilihnya presiden dari kalangan ekstremis, kita khawatir ekstremisme malah makin subur.
Dalam banyak diskusi di media-media Barat dan debat diplomatik tentang agresi Iran, ada catatan menarik bahwa agresi ini akan mengarah ke kondisi "yang lebih buruk." Serangan terakhir terhadap kapal di Teluk menjadi preseden bagi serangan-serangan berikutnya. Konflik Hizbullah-Israel, serangan terhadap pangkalan AS di Irak, serangan rudal Houthi di Arab Saudi semuanya akan menjadi lebih buruk.
Perang diam-diam antara Iran dan Israel ini akan memperburuk keadaan geopolitik dunia saat ini.
Meskipun tidak satu pun dari insiden baru-baru ini yang meningkat menjadi sesuatu yang jauh lebih buruk, saling serang antara Israel dan Iran merupakan peristiwa sehari-hari yang sering jarang dilaporkan oleh media. Kita berharap Iran dan Israel bisa saling menahan diri untuk tidak memperburuk keadaan di Timur Tengah.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy