Plesetan Lokalitas dan Soal Ijtihad Islam Nusantara

Masyarakat Nusantara sejak zaman dulu, terutama di era para wali, memiliki kerangka berfikir unik yang cukup maju. Kemajuan berfikir ini dibuktikan dari kemampuan mereka dalam memahami segala sesuatu bukan hanya melihat dari apa adanya namun juga dari mempertimbangkan bagaimana  sesuatu itu  bisa ada.

Mereka memahami fenomena diri, manusia, alam dan lain-lain berangkat dari cara berfikir yang melihat sampai ke akar-akarnya dan mereka berfikir secara substantif. Itulah ciri kekhasan masyarakat kita terdahulu, masyarakat yang berfikir secara mendalam dan tidak terjebak kepada simbol-simbol formalis. Cara berfikir seperti ini muncul dengan sangat menonjol di era para wali.

Karena itu, ketika Islam datang dengan membawa tradisi literasinya (baca al-Quran dan hadis), masyarakat nusantara dengan gaya berfikir yang melihat segala sesuatu sampai ke akar-akarnya tersebut, mampu memahami ajaran-ajaran Islam secara unik dan tidak melulu harus sesuai dengan pakem formal yang ditentukan oleh tanah kelahirannya, Timur Tengah. Masyarakat nusantara memahami Islam berangkat dari kekayaan pengalaman yang dimilikinya sendiri bukan berangkat dari pengalaman budaya Arab.

Berangkat dari sini, Islam dengan wajah nusantaranya merupakan Islam yang genuine yang mampu menghadirkan wajah Islam sesuai dengan sabda Nabi: ajaklah manusia berfikir sesuai dengan kadar intelektual mereka. Tentu kadar intelektual suatu masyarakat ditentukan oleh prasyarat objektif seperti kondisi budaya, alam dan latar sosialnya. Dengan kata-kata lain, menghadirkan Islam di tengah-tengah manusia nusantara berarti menghadirkan Islam sesuai dengan budaya, latar sosial dan cara berfikir masyarakat Nusantara.

Namun dewasa ini, model pemahaman yang melihat persoalan secara substansial ini tergerus oleh model pemahaman yang formalis. Jika yang pertama ingin menghadirkan Islam di Indonesia menurut kerangka pandang Nusantara (khotibunnas biqadri uqulihim), sementara yang kedua ingin menghadirkan Islam menurut kerangka pandang yang sesuai dengan pakem budaya Arab (khotibunnas biqadri uqul al-arab).

Menghadirkan Islam dengan model pemahaman yang pertama tentu membuat Islam sendiri hadir bukan sebagai agama milik orang Arab saja, tapi juga agama yang menjadi milik nusantara. Sementara model pemahaman yang kedua, menghadirkan Islam dalam kerangka budaya arabnya berarti menghadirkan wajah Islam yang asing yang tak dikenal oleh masyarakat nusantara dan itu artinya tidak mempertimbangkan hadis ‘ajaklah manusia berbicara sesuai dengan kadar intelektualnya’.

Berangkat dari penjelasan di atas, tentunya kedua model pemahaman ini sangat berbeda titik tolaknya dan tidak nyambung. Bagi model pemahaman kedua, ijtihad apapun yang dihasilkan oleh model pemahaman yang pertama akan dianggap sebagai penyelewengan dari asalnya yang murni.

Sebagai contoh sederhana, seringkali kita menganggap tradisi yang dipraktekan leluhur kita terkait dengan ritual-ritual tertentu sebagai takhayul, khurafat dan bid’ah jika dibaca dengan model pemahaman yang kedua. Padahal kita tidak tahu betul apa makna sebenarnya di balik praktek tersebut. Lebih parah lagi sebagian kita mencapnya sebagai syirik. Padahal kalau ditelisik lebih jauh, ternyata praktek tersebut merupakan kreatifitas masyarakat nusantara berbasis pemahaman subtantif terhadap sunnah Nabi SAW. Sayangnya, kebanyakan orang kurang memahami atau bahkan dengan argumen modernitas, mereka anggap tradisi itu kuna.

Ketika membangun rumah, misalnya, secara adat kita diwajibkan untuk menancapkan janur kuning pada bagian atas rumah. Itu diyakini dapat mendatangkan kebaikan dan menolak bala. Sebagian orang menganggap praktek ini sebagai syirik. Apa benar praktek seperti ini bertentangan dengan misi tauhid Islam?

Menurut  Koentjaraningrat dalam buku antropologinya yang berjudul Ritus Peralihan, masyarakat Nusantara, dalam sistem kebudayaannya, yakni, ketika memiliki maksud atau hajat dalam hidup, memiliki tradisi penyajian makanan atau benda-benda tertentu yang sangat unik. Semua unsur sajian itu pada hakikatnya, kata Koentjaraningrat, jika dilihat dari aspek nama, bentuk, sifat atau warnanya mengandung makna dan lambang tertentu.

Tiap-tiap benda itu, menurutnya, mengutarakan harapan tertentu.  Misalnya, Janur (daun kelapa muda) singkatan dari kata jatining nur yang berarti cahaya yang hakiki. Cengkir (kelapa muda) singkatan dari kata kencenging pikir yang berarti ketetapan hati. Tebu singkatan dari anteping kalbu berarti kehendak yang kuat. Kupat luwer berasal dari kata laku papat dan luwar, empat jalan menuju kebebasan. Pisang ayu suruh ayu, ayu adalah rahayu yang berarti selamat dan sejahtera. Penyajian janur kuning, cengkir, tebu, kupat, pisang rahayu dan lain-lain ini seolah mengharap kepada Tuhan agar rumah yang ditempati penuh dengan cahaya (janur) sebagai simbol turunnya rahmat-Nya dan bagi yang tinggal di dalamnya memiliki keteguhan hati (cengkir), kehendak yang kuat (tebu), bebas dari belenggu (kupat), selamat dan sejahtera (pisang).

Contoh lain dari tradisi semacam ini ialah kebiasaan orang-orang Jawa dalam membagikan kue apem, ketan dan kolak.  Bagi masyarakat nusantara, Jawa terutama, makanan tersebut memiliki makna tersendiri. Misalnya apem diasosiasikan orang jawa sebagai kata yang berasal kata Arab afwun yang artinya “minta maaf”; Ketan dihubungkan sebagai kata Arab khata’an yang berarti “kesalahan”; Kolek meski melenceng dari pelafalan yang sebenarnya, diasosiasikan dengan kata Arab kholiq yang artinya pencipta. Dengan demikian, membagi-bagikan sajian dengan ketiga jenis makanan tadi mengandung arti meminta ampun kepada Allah atas kesalahan yang telah diperbuat.

Sayangnya, menurut Koentjaraningrat, orang-orang saat ini tidak memahami lagi makna-makna simbolis yang tersembunyi di balik nama makanan dan benda-benda tersebut.

Proses penyajian di atas dengan segala makna dan artinya sejatinya mengingatkan kita pada ajaran Rasulullah SAW tentang apa yang disebut Ali Mustafa Yaqub sebagai  ad-du’aa bi al-Rumuuz, berdoa secara simbolik, praktik doa yang tidak hanya sekedar mengangkat kedua tangan namun juga doa yang disimbolkan melalui praktik tertentu yang seolah bukan praktik berdoa namun jika dipikir secara mendalam praktik tersebut mengandung unsur doa.

Praktek ini kita temukan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Misalnya, ketika Rasul SAW berdoa agar diberi hujan, surban beliau diputar, yang kanan diputar ke kiri, yang atas diputar ke bawah. Proses tersebut menyimbolkan perubahan keadaan, dari masa tandus ke masa subur, dari masa kering ke masa hujan dan sebagainya. Bahkan ketika kita menadahkan kedua telapak tangan kita ke atas setiap kita berdoa, juga merupakan simbol meminta kepada Allah SWT.

Contoh lain ketika Rasul SAW melewati kuburan, beliau mendengar suara rerintihan yang muncul dari dua kuburan yang dilewatinya. Akhirnya, beliau memotong dua pelepah kurma dan menancapkannya di atas dua kuburan tersebut. Rasul SAW berharap dua ahli kubur tadi diringankan siksaanya dan dimintakan ampunan selama dua pelepah kurma tersebut tertancap. Karena itu, proses menancapkan pelepah kurma merupakan doa secara simbolik untuk memintakan ampunan bagi kedua ahli kubur tadi.

Sebagai kesimpulan, praktek penyajian makanan dan benda-benda ketika memiliki hajat tertentu seperti telah dijelaskan di atas merupakan satu dari sekian kreatifitas Islam Nusantara yang patut dibanggakan. Fenomena tersebut merupakan ijtihad para leluhur kita yang memahami Islam secara substantif dan tidak serba formalis seperti kita sekarang.

Karena itu stigma khurafat, bidah dan takhayul yang dilekatkan pada tradisi menancapkan janur kuning pada bagian atas rumah dan tradisi-tradisi lainnya yang sesuai dengan semangat keislaman tidak memiliki dasar sama sekali. Tradisi ini berangkat dari kerangka pikir yang melihat persoalan itu dengan menimbang aspek semangat dan tujuannya, itulah cara berfikir yang maqasidi.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved