Poros Kerjasama AS-India dan Soal Kebangkitan Cina sebagai “Tantangan Utama”
Ketika awal menjabat sebagai presiden AS, kunjungan luar negeri Joe Biden yang pertama ialah ke Eropa. Kunjungan tersebut memberikan pesan secara jelas bahwa prioritas kebijakan luar negeri pemerintahan Biden adalah kawasan Asia-Pasifik dan kebangkitan Cina.
Kenyataan ini makin dipertegas lagi bahwa pada minggu ini, Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengunjungi India untuk bertemu dengan Perdana Menteri Narendra Modi, Menteri Luar Negeri S. Jaishankar dan penasihat keamanan nasional Ajit Doval. Pada saat yang sama, wakil Menteri Luar Negeri Wendy Sherman telah melakukan perjalanan ke berbagai kawasan, termasuk Jepang untuk pembicaraan trilateral dengan Korea Selatan, dan mengunjungi Cina pada hari Minggu lalu. Sementara itu, Menteri Pertahanan Lloyd Austin dijadwalkan akan mengunjungi Singapura, Vietnam dan Filipina.
Pertemuan-pertemuan ini, dan beberapa kunjungan pejabat pemerintah AS sebelumnya ke wilayah Asia Pasifik tersebut memberikan pesan yang sangat jelas, yakni bahwa Cina merupakan pesaing kuat AS dalam 30 tahun sejak runtuhnya Uni Soviet, dan Joe Biden tampaknya telah memutuskan untuk menjadikan Cina sebagai tantangan dan mungkin juga peluang yang akan menjadi fokus utama kebijakan luar negerinya.
Dan di tengah pusaran aktivitas AS di Asia-Pasifik, perjalanan perdana Blinken ke India pada Selasa dan Rabu minggu ini dinilai sebagai perjalanan yang paling signifikan. Hal ini tercermin dalam berbagai agenda, termasuk perencanaan pertemuan “Quad” musim gugur ini antara Biden, Modi, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison, dan kemungkinan besar akan membicarakan soal kebuntuan dalam penyelesaian perbatasan India-Cina di Ladakh; keamanan di Afghanistan dan Pakistan; dan distribusi vaksin virus corona di Asia-Pasifik.
Saat Cina bangkit sebagai kekuatan pesaing baru di akhir Perang Dingin, hubungan AS-India telah meningkat secara signifikan terutama ketika AS di bawah pemerintahan Bill Clinton dari partai Demokrat, George W. Bush dari Partai Republik, Barack Obama dari Partai Demokrat, Donald Trump dari Partai Republik, dan sekarang Joe Biden dari Partai Demokrat.
Washington menganggap New Delhi sebagai penyeimbang regional untuk menyaingi Beijing. Washington juga menganggap New Delhi sebagai sekutu regionalnya di wilayah Asia Pasifik. Namun demikian, pastinya, meski hubungan ini terjalin mesra, masih ada beberapa tantangan yang sesekali bisa merusak hubungan dekat tersebut. Misalnya ancaman AS untuk memberikan sanksi untuk India jika terus membeli peralatan militer Rusia. Selain itu, banyak pejabat di Washington khawatir dengan peningkatan defisit perdagangan barang dan jasa AS dengan India dalam beberapa tahun terakhir, dan berlanjutnya penundaan kesepakatan perdagangan bebas AS-India, yang didorong keras oleh Donald Trump.
Namun demikian, tantangan ini mendapat kompensasi berupa dukungan yang cukup besar di seluruh sayap politik di Washington untuk mendukung hubungan AS-India agar terjalin lebih kuat. Dukungan ini karena didorong oleh alasan strategis untuk tetap melanjutkan kerjasama dengan India. Dalam keputusan penting pada tahun 2016, Washington menyebut New Delhi sebagai mitra pertahanan utama AS dan menandatangani Perjanjian Kompatibilitas dan Keamanan Komunikasi. Perjanjian dengan New Delhi ini juga mendukung kerjasama kontra terorisme dan pertahanan dalam skala yang lebih besar, yang menurut Menteri Pertahanan Nirmala Sitharaman akan meningkatkan hubungan AS dan India “ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Perjanjian ini juga mendorong Washington dan New Delhi menjalin hubungan militer secara lebih dekat, termasuk latihan angkatan laut bersama dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya dengan pasukan Jepang dan Australia, tetapi juga dengan pasukan non-Asia Pasifik seperti Prancis.
Minggu ini, Blinken akan menandatangani serangkaian perjanjian terkait keamanan, termasuk memberikan India akses ke data satelit AS yang paling rahasia untuk meningkatkan pembuatan rudal dan pesawat tak berawak sekaligus mengantisipasi serangan dua jenis senjata tersebut. Perjanjian ini juga menunjukkan bahwa kesepakatan keamanan AS-India telah berkembang pesat dari yang semula mendekati nol pada tahun 2008 menjadi diperkirakan $ 20 miliar pada saat ini.
Selain keamanan, kedua negara juga ingin membuat kesepakatan soal perdagangan, yang akan menjadi kabar gembira bagi sebagian besar komunitas bisnis AS mengingat mangsa pasar India berjumlah lebih dari 1 miliar konsumen.
Washington merupakan mitra dagang terbesar kedua di New Delhi setelah Beijing. Perdagangan barang dan jasa berkembang menjadi sekitar $142,6 miliar pada tahun 2018 dari $11,2 miliar pada tahun 1995. Sementara pertumbuhan ini dianggap sebagai kesuksesan, satu tantangannya adalah defisit perdagangan barang dan jasa AS dengan India melonjak dari $2 miliar menjadi $25,2 miliar selama periode yang sama. Defisit perdagangan ini jelas telah menciptakan ketegangan; pada tahun 2019 Washington mencabut status perdagangan khusus AS dari India, dan pemerintahan Modi membalas kebijakan AS ini dengan menaikkan tarif pada 28 kategori barang AS.
Dalam konteks permasalahan ini, kesepakatan apa pun mungkin perlu dipertimbangkan hingga setidaknya setelah dua tahun pasca Pemilu AS November 2022. Sebab, banyak kompromi yang diperlukan India dan AS yang akan menimbulkan hambatan tersendiri bagi partai Demokrat AS yang mempertahankan kendali atas Kongres.
Namun, dengan melihat kehangatan hubungan saat ini antara kedua negara tersebut, baik Biden maupun Modi merasakan perlunya untuk mencapai berbagai kesepakatan sebelum mereka sendiri lengser dari jabatannya, dengan tentunya sambil tetap mempertahankan aliansi keamanan di masing-masing wilayahnya.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy