Praktik Politik Kartel dan Demokrasi Cacat di Indonesia

Economist Intelligence Unit merilis Indeks Demokrasi 2020 di 167 negara di dunia. Norwegia dalam laporan tersebut disebut meraih skor tertinggi, yakni 9,81. Skor ini menjadikan Norwegia sebagai negara yang memiliki indeks demokrasi tertinggi di dunia. Ada lima indikator yang digunakan EIU dalam menentukan indeks demokrasi suatu negara: pertama, proses pemilu dan pluralisme; kedua, fungsi dan kinerja pemerintah; ketiga, partisipasi politik, keempat, budaya politik dan terakhir, kelima: kebebasan sipil. Berdasarkan skor yang diraih, negara-negara tersebut diklasifikasikan oleh EIU ke dalam empat kategori rezim: demokrasi penuh, demokrasi cacat, rezim hibrida dan rezim otoriter.

Untuk Indonesia, Economist Intelligence Unit memberikan skor 7,92 untuk indikator pertama, proses pemilu dan pluralisme. Untuk indikator kedua, yakni fungsi dan kinerja pemerintah, Indonesia memperoleh skor 7,50.  Untuk indikator ketiga, yaitu partisipasi politik, Indonesia mendapat skor 6,11. Dalam aspek budaya politik, indikator keempat, Indonesia memperoleh skor 4,38 dan skor 5,59 untuk kebebasan sipil. Dengan skor ini, Indonesia masih kalah jauh dengan negara-negara tetangga.

Economist Intelligence Unit dalam laporannya mencatat Timor Leste meraih skor 7,19 (peringkat 41 dunia, dan peringkat 6 di Asia Tenggara), Malaysia meraih angka 7,16 (peringkat 43 dunia, 7 di Asia Tenggara), dan Filipina meraih angka 6,64 (peringkat 54 dunia, 9 di regional). Sementara Indonesia sendiri menempati peringkat ke-64 dengan skor 6,3.

Dengan skor ini, Indonesia dikategorikan oleh EIU sebagai negara dengan demokrasi cacat.  Dan lebih memilukan lagi, Indonesia masih berada jauh di bawah Timor Leste dengan selisih 23 tingkat. Bahkan terkait kebebasan sipil yang menjadi indicator kelima, Timor Leste juga dibilang lebih tinggi dari Indonesia. “Dalam berdemokrasi yang menurun ialah kebebasan sipil, ketakutan menyatakan pendapat, dan aparat yang dinilai semakin semena-mena dalam menangkap warga yang berbeda pandangan dengan penguasa,” jelas Burhanuddin Muhtadi.

Tak hanya soal kebebasan sipil, terkait budaya politik yang menjadi indicator keempat pun, Indonesia masih dibilang meraih skor terendah, yakni 4,38. Dan memang banyak pakar politik menilai, budaya politik dengan skor terendah ini diakibatkan oleh sistem politik yang ada di Indonesia yang hampir mirip atau mungkin sudah mirip dengan politik partai kartel. Dodi Ambardi, seorang pengamat politik, menilai bahwa sejak era reformasi, partai-partai yang ada di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel.

Ambardi lalu menunjukkan beberapa fenomena di Indonesia yang memperkuat watak kartelisme yang tercermin dalam relasi partai-partai di Indonesia: pertama, menurut Ambardi, dalam sistem kepartaian di Indonesia pasca reformasi,  kita melihat hilangnya peran ideologi dalam partai. Padahal dari ideologi inilah, partai menurunkan program-programnya. Hilangnya ideologi ini memainkan peranan besar bagi perilaku koalisi partai; Kedua, Ambardi melihat bahwa ada sikap yang gampangan untuk menerima tawaran pembentukan koalisi. Sebut saja partai-partai di Indonesia sangat permisif ketika ditawar untuk bergabung dalam koalisi;

Ketiga, minimnya oposisi. Dengan minimnya oposisi di Era SBY dan Jokowi, terlihat bahwa partai-partai berlomba-lomba untuk bergabung dengan kekuasaan. Akibat minimnya oposisi, check and balance terhadap kebijakan pemerintah pun menjadi kurang;

Keempat, fenomena kartel dalam sistem politik di Indonesia ini dapat dilihat pada hasil-hasil Pemilu yang hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan kelima kuatnya kecenderungan partai-partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Lima fenomena yang muncul dalam budaya politik di Indonesia ini sangat berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.  Katz & Mair dalam Changing models of party organization and party democracy: the emergence of the cartel party menyebut ciri-ciri budaya politik seperti yang disebut Ambardi ini sebagai kartel politik atau partai kartel.

Kartel politik menurut Katz & Mair dapat juga disebut sebagai sistem kerjasama yang memiliki kecenderungan untuk menciptakan dan mendukung status quo sistem kepartaian dalam politik di Indonesia. Di Indonesia, sistem kartel ini  tercermin  dalam usaha untuk merangkul semua partai politik yang berlainan ideologi. Semua ini dilakukan untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan di parlemen. Tujuan utama ajakan untuk berkoalisi ini bukan untuk kepentingan masyarakat, tapi untuk kepentingan elite-elite politik.

Budaya politik kartel ini jelas dapat menciptakan sebuah pemerintahan yang tidak sehat bagi masyarakat, dan terlebih lagi bagi kehidupan demokrasi. Kartel politik melapangkan jalan bagi mulusnya kekuasaan oligarkis yang dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki uang, dalam jaringan kekuasaan korup dan saling menutupi kesalahan.

Salah satu cerminan dari dampak negatif sistem kartel ini ialah kasus dana bailout Bank Century yang masih menyisakan misteri. Dalam kasus ini, terdapat praktik korupsi politik secara tidak langsung yang mengindikasikan adanya persekongkolan elit-elit politik yang terlibat untuk menutupi adanya kejahatan dalam penggunaan keuangan negara.

Fenomena partai kartel dalam kasus Bank Century ini dapat teridentifikasi melalui adanya beberapa rentetan kasus keuangan sebelumnya yang melibatkan elit-elit partai politik. Jejaring kartel ini terlihat jelas ketika Sri Mulyani mengambil kebijakan untuk memberantas mafia pajak. Pemberantasan mafia pajak ini ternyata menyeret politisi berpengaruh dari partai Golkar yaitu Aburizal Bakrie yang akrab dipanggil Ical.  Tak sampai di sini, selain persoalan mafia pajak, jejaring kartelisme juga terlihat nyata dalam penyalahgunaan dana bailout Bank Century. Saat itu, dana ini dicurigai mengalir ke kantong para petinggi partai Demokrat sebagai modal untuk mengikuti pemilihan umum tahun 2009. Kedua kasus besar ini, yakni kasus mafia pajak dan kasus Bank Century telah memunculkan konflik kepentingan antar partai Demokrat dan partai Golkar.

Perseteruan antara partai Demokrat dan partai Golkar tersebut baik di parlemen maupun di media secara jelas menyiratkan adanya penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh kedua partai besar ini. Namun menariknya, pada tahap selanjutnya, konflik sengit yang melibatkan para petinggi partai tersebut meredam dan berakhir dengan damai. Hal demikian terlihat jelas dengan munculnya “koalisi” untuk mewujudkan stabilitas pemerintahan yang damai dengan mengedapankan prinsip kerja sama dan mengurangi konflik. Koalisi yang terbentuk antara SBY dan Ical saat itu dapat disebut sebagai persekongkolan elit partai kartel. Tujuannya tak lain ialah untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan melalui penguasaan terhadap sumber-sumber keuangan negara.

Fenomena kartel juga terjadi di era Jokowi. Ketidak-concern-nya Jokowi terhadap isu-isu demokrasi dan pemberantasan korupsi di periode kedua dimanfaatkan oleh elit-elit politik kartel untuk menggolkan revisi UU KPK yang melemahkan usaha-usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. Revisi UU KPK yang memuat pasal-pasal yang dapat melemahkan kinerja KPK disahkan secara kilat oleh DPR. Hal ini yang kemudian menggerakkan demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran.

Mereka melihat ada kejanggalan dalam revisi UU KPK tersebut. Selain itu, fenomena kartel juga terlihat jelas ketika beberapa elite partai kartel menggulirkan isu amendemen UUD 1945 dengan memasukkan pasal pembatalan pemilihan presiden secara langsung menjadi pemilihan via MPR, mengembalikan GBHN, wacana tiga periode jabatan presiden, dan pilkada via DPRD.Semua wacana ini jelas dapat menurunkan kualitas demokrasi di negeri ini.

Jika negara ini terus menerus dikuasai oleh mesin partai yang bersifat oligarkis nan kartelis ini, demokrasi hanya akan menjadi demokrasi elitis dimana rakyat atau masyarakat bukan lagi menjadi focus utama pembangunan dan kesejahteraan. Demokrasi elitis seperti ini hanya sekedar sebagai pelapangan jalan bagi terpenuhinya nafsu-nafsu kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi kelompok elit.

Mereka bekerjasama untuk melakukan praktik korupsi  dan mengganggu kemapanan sistem demokrasi Indonesia. Peran partai tidak lagi berfungsi sebagai check and balance sehingga matilah partisipasi politik dan suara rakyat. Partai politik tidak lagi memiliki ideology. Mereka malah menghilangkan ideologi untuk memenuhi kepentingan dan kepuasan pribadi dan kelompok.

Artikel ini pernah diterbitkan di klik magazine

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved