Relasi Ashabiyyah dan Khilafah dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (Bagian IV)
Khilafah dan ashabiyyah seperti yang dapat kita baca dalam kitab al-Muqaddimah memiliki pertalian yang cukup erat. Karena itu, kata Ibnu Khaldun, jabatan seorang khalifah harus dari kabilah yang memiliki ashabiyyah terkuat.
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah bagaimana jika jabatan khalifah atau posisi kenabian diisi oleh kabilah yang memiliki ashabiyyah yang lemah atau dalam konteks masyarakat Arab era kenabian dan era khilafah posisi kenabian dan jabatan khalifah diisi oleh bukan dari kabilah Quraisy?
Ibnu Khaldun menjawab secara tegas pertanyaan dalam kitab al-Muqaddimah demikian:
فلو جعل الأمر في سواهم لتوقع اختراق الكلمة بمخالفتهم وعدم انقيادهم ...فاشترط نسبهم القرشي في هذا المنصب، وهم أهل العصبية القوية ليكون أبلغ في انتظام الملة واتفاق الكلمة.
“Kalau seandainya kepemimpinan diserahkan kepada selain Quraisy, tentu akan terjadi perpecahan dan hilangnya persatuan karena suku-suku Arab akan memberontak dan tidak akan mematuhi pemimpin non-quraisy…nasab Quraisy karena itu sangat disyaratkan bagi jabatan seorang khalifah atau pemimpin dalam menduduki jabatannya. Hal demikian karena suku Quraisy merupakan suku yang memiliki ashabiyyah terkuat sehingga mampu menjaga agama dan menjaga persatuan umat.”
Kutipan-kutipan ini sengaja kita sajikan dalam tulisan ini agar pandangan Ibnu Khaldun dapat dengan jelas kita pahami bersama. Kutipan di atas menunjukkan bahwa yang dimaksudkan Ibnu Khaldun dengan nasab Quraisy sebagai jabatan khalifah ialah karena Quraisyh di awal kemunculan Islam merupakan kabilah yang memiliki ashabiyyah terkuat sehingga wajar saja kepemimpinan kenabian dan kekhilafahan dipegang oleh kabilah ini.
Karena itu, kita dapat melihat kutipan selanjutnya alasan mengapa Quraisy menjadi syarat kepemimpinan:
فإذا ثبت أن اشتراط القرشية، إنما هو لدفع التنازع بما كان لهم من العصبية والغلب، وعلمنا أن الشارع لا يخص الأحكام بجيل ولا عصر ولا أمة، علمنا أن ذلك إنما هو من الكفاية فرددناه إليها، وطردنا العلة المشتملة على المقصود من القرشية، وهي وجود العصبية، فاشترطنا في القائم بأمر المسلمين أن يكون من قوم أولى عصبية قوية غالبة على من معها لعصرها ليستتبعوا من سواهم وتجتمع الكلمة على حسن الحماية.
“Jika nasab Quraisy sangat disyaratkan dalam kepemimpinan, dan tujuan dari nasab Quraish ini ialah untuk menghilangkan dan menghindari konflik dan karena kabilah Quraisy merupakan suku yang memiliki ashabiyyah yang kuat dan dominasi kekuasaan yang tinggi, tentunya kita tahu bahwa syariat tidak mungkin membatasi ajaran-ajaran atau hukum-hukumnya hanya kepada satu generasi, masa dan bangsa tertentu. Oleh karena itu, tentu alasan di balik pensyaratan Quraish dalam kepemimpinan dikembalikan kepada soal kecakapan dalam memimpin. Sampai di sini kita dapat memastikan bahwa alasan (illat) di balik disyaratkanya Quraisy ialah adanya Ashabiyyah. Karena itu pula, kami mensyaratkan agar pemimpin umat Islam harus berasal dari kabilah yang memiliki ashabiyyah yang kuat dan mampu memengaruhi masyarakat yang semasa dengannya agar persatuan umat dapat dipertahankan.”
Karena itu, ketika menyaratkan nasab Quraisy dalam memegang tampuk kekhilafahan, tentu Islam tidak lain hanya memberikan legitimasi bagi kenyataan sejarah yang ada di masa nabi, khilafah dan kerajaan.
Menariknya lagi, Allah SWT memilih rasulnya dari Quraisy karena tahu bahwa mereka memiliki ashabiyyah yang kuat, dan hanya Quraisy sajalah, dan bukan kabilah-kabilah lainnya, yang mampu membawa panji-panji Islam dan menyebarkan ajaran-ajarannya. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, jika Allah mengutus rasul yang berasal dari bukan kabilah Quraisy, dan sementara Quraisy merupakan kabilah dengan ashabiyyah yang terkuat saat itu, tentu dakwah sang rasul ini tidak akan mengalami kesuksesan.
Hal demikian karena bagi Ibnu Khaldun:
لأن الشرائع والديانات وكل أمر يحمل عليه الجمهور لا بد فيه من العصبية، إذ المطالبة لا تتم إلا بها، كما قدمناه، فالعصبية ضرورية للملة، وبوجودها يتم أمر الله منها.
“Agama dan semua aspek kehidupan yang melibatkan massa yang banyak tentu akan berkembang jika ada ashabiyyah. Perjuangan apa pun tidak akan berhasil tanpa ashabiyyah sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya. Jadi ashabiyyah sangatlah perlu bagi keberlanjutan agama. Dengan adanya ashabiyyah, ajaran agama dapat berkembang dengan baik.”
Lebih jauh lagi, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa:
لو بطلت العصبية لبطلت الشرائع إذ لا يتم قوامها إلا بالعصبية.
“Jika tidak ada ashabiyyah, tentu agama tidak akan maju dan berkembang. Nasib ajaran agama sangat bergantung kepada ashabiyyah.”
Sampai di sini, ketika membahas soal relasi ashabiyyah dan khilafah, ketika mencoba secara jeli lagi memahami pemikiran Ibnu Khaldun, kita menemukan adanya kontradiksi yang cukup akut.
Telah disebut sebelumnya, bahwa Ibnu Khaldun menilai keberhasilan Islam dan berdirinya negara khilafah dengan segenap prestasi penaklukan yang luar biasa merupakan mukjizat atau sebut saja karena adanya intervensi ilahi.
Namun, segera setelah itu kita temukan juga Ibnu Khaldun menegaskan bahwa keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW tidak akan mungkin dicapai tanpa adanya ashabiyyah Arab. Selain itu, syariat juga memelihara ashabiyyah ini ketika mengutus seorang Rasul dari kabilah Quraisy, kabilah Arab terkuat dan ketika mensyaratkan nasab Quraisy untuk menjabat sebagai khalifah dalam sistem kekhilafahan. Ini jelas kontradikif.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy