Relasi Ashabiyyah dan Khilafah dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (Part I)
Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah memfokuskan salah satu perhatiannya kepada persoalan khilafah. Ulasan Ibnu Khaldun dalam hal ini sangatlah panjang dan menarik. Ibnu Khaldun mengemukakan berbagai macam pandangan dan teori tentang khilafah dengan gaya bahasa yang sistematis, runut, logis dan jelas.
Meski dalam berbagai persoalan yang dikemukakannya, Ibnu Khaldun lebih banyak cenderung berpegang ke pandangan Ahlu Sunnah, dan bahkan beliau memang merupakan salah satu pemikir Sunni yang terkenal, namun tujuan utama pemaparannya tentang sistem khilafah ialah untuk menegaskan bahwa sistem khilafah baik dalam kemunculan maupun dalam perkembangannya sangat tunduk dan bergantung kepada Ashabiyyah.
Dengan membangun teori pemerintahan berdasarkan kepada hukum ashabiyyah, dan karena khilafah merupakan salah satu jenis model pemerintahan, bahkan mungkin satu satunya model pemerintahan dalam Islam, maka tentunya untuk mengukuhkan kebenaran teori Ashabiyyah, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kemunculan dan perkembangan sistem khilafah sendiri yang kemudian berubah menjadi sistem kerajaan tidak bisa dilepaskan dari bayang-bayang Ashabiyyah. Jadi peranan ashabiyyah sangat kuat dalam membangun sistem khilafah dan sistem kerajaan.
Sebelum kita memperdalam pandangan Ibnu Khaldun tentang khilafah dan kaitannya dengan ashabiyyah, ada baiknya kita coba ringkaskan pandangan para ahli kalam dan ahli fikih tentang khilafah sebagai berikut:
Pertama, biasanya kitab-kitab fikih dan kitab-kitab ilmu kalam menyoal tema-tema pembahasan apakah memilih pemimpin atau khalifah itu wajib bagi semua umat Islam atau tidak? Jika memilih pemimpin itu wajib, apa landasan kewajibannya, apakah dari syara atau dari akal? Apakah Islam menyerahkan pengangkatan pemimpin kepada pilihan yang ditentukan umat Islam sendiri ataukah pengangkatan pemimpin itu didasarkan kepada nash agama yang menunjuk sosok tertentu sebagai khalifah?
Kedua, yang sering dibahas oleh ahli fikih dan ahli kalam soal khilafah ialah apa syarat-syarat yang wajib dipenuhi bagi seorang khalifah? Siapa saja yang memiliki kelayakan untuk mengangkat seorang khalifah bagi kalangan umat islam yang memandang bahwa khalifah itu harus dipilih umat dan siapa saja yang memiliki kelayakan untuk mengangkat seorang khalifah bagi kalangan umat islam yang berpandangan bahwa jabatan khalifah itu berdasarkan ketentuan nash? Persoalan selanjutnya yang selalu dibahas di kalangan ahli kalam dan ahli fikih ialah apakah seorang khalifah itu bisa melakukan kesalahan atau tidak? Jika dia melakukan kesalahan apakah seornag khalifah wajib dicopot dari jabatannya? Jika iya, bagaimana mekanisme pencopotan jabatan khalifah?
Ketiga, berdasarkan kepada keterangan di atas, apakah kepemimpinan empat khalifah; Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Uthman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dengan segenap urutannya itu sah atau tidak? Apakah urutan dari Abu Bakar sampai Ali bin Abi Thalib merupakan urutan yang benar-benar sesuai syariat ataukah yang datang lebih akhir seharusnya memimpin lebih awal? Apakah boleh mengangkat pemimpin yang kurang secara keutamaan sementara ada pemimpin lain yang lebih jika dilihat dari segi keutamaannya?
Seperti yang jamak diketahui, para ahli kalam dan ahli fikih berselisih pendapat tentang persoalan-persoalan ini. Namun tanpa perlu terlibat dalam soal-soal yang lebih rinci, bisa dikatakan secara umum bahwa adanya perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli kalam dan ahli fikih sebenanrnya mencerminkan perbedaan kecenderungan politik, kecenderungan yang mendisentegrasikan umat Islam menjadi beberapa sekte dan kelompok. Dengan kata-kata lain, pandangan ahli fikih dan ahli kalam lebih cenderung ideologis dan bukan pandangan yang dihasilkan dari permenungan secara mendalam.
Sampai di sini, teori khilafah menurut ahli fikih dan ahli kalam selalu diwarnai oleh karakteristik masanya baik secara holistic maupun secara parsial. Teori khilafah pun kebanyakan diwarnai oleh ideologi pengusungnya.
Ibnu Khaldun mungkin memahami betul persoalan ini sehingga ia tidak tertarik membahas persoalan-persoalan yang sudah menjadi bahasan ahli fikih dan ahli kalam. Sebut saja yang dibahas oleh ahli fikih dan ahli kalam ini hanyalah persoalan-persoalan pinggiran yang tidak menukik analisisnya sampai ke akar persoalan. Karena itu, Ibnu Khaldun mencoba melihat khilafah secara menyeluruh. Ibnu Khaldun ingin melihat khilafah sebagai peristiwa sejarah yang memiliki sebab dan akibatnya.
Menurut Ibnu Khaldun, khilafah merupakan produk masyarakat Arab Islam saat itu dan beralihnya sistem khilafah ke sistem kerajaan juga tidak lain dari produk perkembangan dan tuntutan masyarakat Arab Islam saat itu. (bersambung)
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy