Relasi Ashabiyyah dan Khilafah dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (Part III)

Telah dikemukakan dalam artikel sebelumnya bahwa Ibnu Khaldun menyebut fenomena khilafah yang terjadi di masa awal-awal Islam sebagai fenomena mukjizat dan peristiwa luar biasa.

Kendati berpandangan demikian, bukan berarti Ibnu Khaldun mengabaikan sama sekali hukum sosial secara total. Bahkan Ibnu Khaldun sangat memperhatikan hukum sosial ini terutama ketika membahas persoalan khilafah yang mensyaratkan seorang khalifah harus dari trah Quraisy.

Terkait hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa:

الأحكام الشرعية كلها لا بد لها من مقاصد وحكم تشتمل عليها وتشرع من أجلها

“Hukum-hukum syariat semuanya digerakkan  dan diproduk oleh tujuan-tujuan (maqasid) dan hikmah-hikmah (hikam). Maqasid dan hikmah inilah yang menjadi pangkal bagi lahirnya hukum-hukum dalam Islam.”

Melalui kutipan ini, kita lihat bagaimana Ibnu Khaldun mendasarkan tafsirnya terhadap teks-teks keagamaan - yang mensyaratkan kabilah Quraisy sebagai prasyarat untuk menjadi khalifah - di atas pertimbangan maqashid syariah.

Istilah-istilah seperti maqasid, hikam, masalih dan sejenisnya akan sering kita temukan dalam kitab al-Muqaddimah. Hal demikian tentu menunjukkan bahwa selain kepakarannya dalam bidang sejarah, sosiologi, politik dan lain-lain Ibnu Khaldun merupakan ulama yang sangat memperhatikan maqasid dalam memahami teks-teks keagamaan, terutama teks sejarah. Kenyataan demikian makin dipertegas oleh penemuan al-Jabiri dalam karyanya Bunyat al-Aql al-Arabi yang menyebut Ibnu Khaldun sebagai pemikir muslim yang gagasan-gagasannya memiliki kecenderungan yang sama dengan as-Syatibi, pencetus teori maqashid syariah.

Lebih jauh Ibnu Khaldun melihat bahwa motif dan hikmah di balik persyaratan Quraisy bagi seorang khalifah bukan terletak pada tradisi mengalap berkah dengan trah kequraisyan seperti yang umum terjadi di masanya. Bagi Ibnu Khaldun ngalap berkah (tabarruk bi washlatin nabiyy) dengan trah quraish bukanlah maksud dari dibuatnya hukum syariat. Terkait hal ini Ibnu Khaldun menjelaskan secara rinci:

والحكمة من اشتراط النسب القرشي في الخلافة ليست التبرك بوصلة النبي صلعم كما هو في المشهور، وإن كانت تلك الوصلة موجودة والتبرك بها حاصلا. لكن التبرك ليس من المقاصد الشرعية كما علمت، فلا بد إذن من المصلحة في اشتراط النسب وهي المقصودة من مشروعيتها.

“Tujuan dari keharusan dari suku Quraisy bagi khalifah yang dipilih bukanlah terletak pada tradisi ngalap berkah. Biasanya disyaratkanya nasab Quraisy bagi seorang pemimpin ialah demi mendapat keberkahan karena Quraisy segaris kesukuan dengan Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang dikenal pada masa kita ini. Meski memang berkah tersebut bisa jadi dapat tercapai namun ngalap berkah (tabarruk) dengan nasab Quraisy bagi seorang khalifah bukanlah termasuk tujuan syariat. Karena itu, tentu ada kemaslahatan dibalik disyaratkannya nasab Quraisy. Kemaslahatan inilah yang dimaksudkan dari diproduknya syarat kequraisyan bagi seorang khalifah.”

Dalam kutipan di atas, kita lihat bagaimana Ibnu Khaldun mencoba mendekati teks agama yang mensyaratkan keharusan dari suku Quraisy dalam memilih pemimpin umat dari sudut pandang yang sifatnya maqasidi. Pendekatan ini memang jarang dilakukan oleh para pemikir muslim lainnya. Kebanyakan mereka menafsirkan teks-teks keagamaan melalui kacamata bahasa Arab atau sebut saja bayani dalam bahasa Abid al-Jabiri. Imam as-Syafi’i merupakan ulama yang pertama kali merumuskan kaidah-kaidah berpikir untuk memproduksi ijtihad keagamaan berdasarkan kepada lisan al-arab atau bahasa Arab.

Namun tampaknya Ibnu Khaldun sedikit lebih maju dalam memahami wacana keagamaan berdasarkan kepada nalar maqasidi ini dibanding imam as-Syafi’i. Hal demikian karena Ibnu Khaldun tidak membatasi ijtihad keagamaan dengan menggunakan kaidah berpikir bahasa Arab, namun ia lebih banyak mempertimbangkan aspek yang esensial di balik pembuatan hukum dalam Islam, yakni aspek maqasid. Menariknya lagi, nalar maqasidi ini diterapkannya juga kepada teks-teks sejarah.

Kendati demikian, meski menggunakan istilah-istilah maqasid syariah, Ibnu Khaldun juga tidak lupa menggunakan istilah-istilah usul fikih dalam ijtihad sosiologisnya. Kita lihat dalam teks di bawah ini, bagaimana Ibnu Khaldun meminjam istilah usul fikih dalam melihat alasan di balik pensyariatan nasab Quraish sebagai  syarat khalifah:

وإذا سبرنا وقسمنا لم نجد إلا اعتبار العصبية التي تكون بها الحماية والمطالبة، ويرتفع بها الخلاف والفرقة بوجوها لصاحب المنصب، فتسكن إليه الملة وأهلها وينتظم حبل الألفة فيها.

“Jika kita teliti lebih jauh (walau sabarna wa qasamna), ashabiyyah merupakan prasyarat yang sangat dipertimbangkan oleh agama dalam memilih pemimpin. Hal demikian karena dengan ashabiyyah, akan terbentuk dukungan dan kekuatan. Dengan ashabiyyah, akan hilang segenap perbedaan dan perpecahan. Dengan ashabiyyah pula, sang pemimpin dapat melanggengkan kekuasaannya. Dengan ashabiyyah, agama dapat ditegakkan dan para penganutnya dapat menggapai persatuan.”

Dalam kutipan di atas, kita temukan redaksi walau sabarna wa qassamna, istilah ini berasal dari istilah yang digunakan dalam usul fikih, yakni as-sabru wat taqsim. As-sabru wat taqsim adalah proses pencarian illat atau alasan-alasan pensyariatan sebuah hukum. Dari berbagai illat yang diteliti, kemudian dipilihlah illat yang sekiranya dipandang paling cocok sebagai satu-satunya alasan di balik diproduksinya hukum dalam Islam. Berdasarkan kerangka usul fikih dalam ijtihad sosiologisnya ini, Ibnu Khaldun menemukan bahwa illat di balik pensyariatan nasab Quraisy sebagai syarat bagi seorang khalifah terletak pada ashabiyyah. Lalu Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa kabilah Quraish, baik sebelum maupun setelah masa kenabian, merupakan suku terkuat sehingga layak dijadikan pemimpin:

وذلك أن قريشا كانوا عصبة مضر وأصلهم وأهل الغلب منهم وكان لهم على سائر مضر العزة بالكثرة والعصبية والشرف. فكان سائر العرب يعترف لهم بذلك ويستكينون لغلبهم.

“Suku Quraisy berasal dari keturunan Mudhar dan Quraisy memang memiliki kemampuan dan kecakapan lebih dibanding suku-suku keturunan Mudhar lainnya. Suku Quraisy dikatakan sebagai suku terkuat dari sekian suku-suku keturunan Mudhar lainnya karena mereka berjumlah banyak serta memiliki ashabiyyah yang kuat dan kemuliaan yang tinggi. Semua suku-suku Arab mengakui keberadaan Quraisy dan pengaruhnya bagi mereka sehingga mereka pun tunduk dalam pengaruh tersebut.”

Melalui kutipan di atas kita mungkin bisa saja bertanya-tanya, bagaimana kalau seandainya kenabian atau khalifah berasal dari luar kabilah Quraisy sementara Quraish sendiri di masa kenabian dan masa khilafah ini merupakan kabilah terkuat? Kita tangguhkan jawabannya dalam artikel berikutnya.

 

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved