Satu Abad NU, Refleksi Perjuangan dan Kontribusi Mbah Wahab sebagai Pendiri Organisasi Terbesar sekaligus Tokoh Bangsa dari Rahim Pesantren

KH. Wahab Hasbullah adalah sedikit dari tokoh besar yang lahir dari rahim pesantren. Beliau melintasi zaman yang penuh dengan peristiwa bersejarah sejak masa penjajahan sampai pasca kemerdekaan Indonesia.

Peristiwa bersejarah yang dimulai dari era kolonialisme Jepang dan Belanda yang mencabik-cabik serta menyesap darah masyarakat pribumi, kemudian era Wahabisme yaitu paham puritan yang ingin mencerabut tradisi lokal dari akarnya, hingga kemudian pada era Komunisme (yang menjelma menjadi ancaman serius bagi Indonesia yang baru saja menghirup udara kemerdekaan), dan masa Orde Lama di mana disintegrasi bangsa bermunculan, tidak sedikit terjadi konflik ideologis yang berpotensi memecah belah persatuan Indonesia, misalnya Pemberontakan PKI di Madiun (1948 dan 1965), Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat (1948 – 1961), Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi pada tahun 1950-an.

Mbah Wahab Sang Bapak Fikih Peradaban

Hebatnya, dalam setiap momen bersejarah tersebut Mbah Wahab selalu tampil menjadi 'playmaker', keterlibatan Mbah Wahab dalam setiap proses historis di atas membuatnya dikenal bukan hanya sebagai seorang 'Kiai' (Ulama), tetapi juga sebagai aktivis pergerakan, dan politikus papan atas. Banyak kontribusi yang diberikan oleh Mbah Wahab untuk bangsa Indonesia baik pada masa Pra-kemerdekaan maupun Pasca-kemerdekaan.

Kontrisbusi pertama, Mbah Wahab terhadap praktik kolonialisme dapat dilihat dari pandangan beliau yang mengatakan bahwa kolonialisme termasuk tindakan 'ghasab', yaitu upaya menguasai hak orang lain tanpa hak (al-istîlâ’ ‘ala haqq al-ghair bi lâ haqq). Untuk merebut kembali hak yang telah dirampas tersebut, Mbah Wahab berupaya membangun kesadaran nasional dengan meniupkan spirit keagamaan di dalamnya melalui slogan hubb al-watan min al-îmân (cinta tanah air adalah manifestasi iman).

Kontribusi kedua, menjelang akhir tahun 1950, gerakan separatis-radikal baik berbasis agama ataupun sekulerisme muncul sebagai ancaman keamanan nasional. Mbah Wahab dengan lantang menolak segala bentuk radikalisme, baik radikalisme agama ataupun radikalisme sekuler. Menurutnya, radikalisme agama dapat mencederai kemaslahatan berbangsa dan bernegara, sedangkan radikalisme sekuler dapat mencederai kemaslahatan agama. Karena menurut Mbah Wahab tindakan seorang imam/pemimpin atas komunitas yang dipimpinnya harus didasarkan pada pertimbangan maslahat (tasharruf al-imâm ‘ala al-ra‘iyyah manúttun bi al-maslahah). Tulis Miftakhul dalam jurnal “Pemikiran Mbah Wahab Hasbulah Perspektif Fikih”, halaman 191.

Kontribusi ketiga, memelihara budaya lokal. Gerakan Mbah Wahab tersebut dapat dilihat ketika situasi bangsa Indonesia yang sedang dijajah oleh Belanda, dimana pengaruh paham Wahabi mulai masuk ke Indonesia dengan kedok gerakan pembaruan Islam. Sebagai respon dari Gerakan Wahabisme mbah Wahab melawanya dengan kaidah al-‘adat muhakkamah, bahwa kebiasan lokal selama tidak menyimpang dari prinsip syariat bisa diakomodir sebagai salah satu sumber inspirasi hukum. Menurutnya menjadi muslim yang baik tidak harus menanggalkan tradisi.
Beberapa pemikiran Mbah Wahab yang menggabungan budaya lokal misalnya, tentang konsep “politik keris-keras”, “persatuan kusiriyah”, “halal bi halal”, “diplomasi cancut taliwondo”, dan “sosialisme Indonesia” menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang kuat dalam menjaga tradisi sehingga memiliki pemikiran yang indigenos, khas Nusantara. Begitu tulis Miftakhul Arif dalam jurnal yang sama pada halaman 205.

Corak pemikiran serta pengambilan keputusan Mbah Wahab pada konteks kenegaraan semuanya dilandasi oleh pemikiran berdasarkan fikih. Spirit keilmuan agama yang moderat, nyatanya berhasil menciptakan peradaban yang maha dahsyat tanpa melukai ataupun menghardik sesama putra bangsa. Semoga semangat ini dapat diteruskan oleh warga Nahdiyyin serta menegaskan bahwa ilmu agama tidak hanya menyoal boleh/tidak namun sebagai lokomotif untuk mebawa dunia menuju peradaban yang maju, harmonis dan beradab.

Mbah Wahab, Santri Kelana yang Tidak Berebut Klaim NU
“20 tahun beliau mencari dan meneguhkan bahwa keilmuan adalah harga mati.”

Julukan santri kelana untuk Mbah Wahab bukanlah tanpa sebab. Secara kalkulasi, terdapat kurun waktu 20 tahun beliau mencari dan meneguhkan bahwa keilmuan adalah harga mati.
Proses itu bermula ketika beliau berumur 13 tahun, mulai nyantri di pesantren langitan, Tuban, yang kala itu diasuh oleh KH Muhammad Nur tahun 1852 sampai ke Mekkah pada tahun 1910. Mekkah menjadi rujukan Mbah Wahab untuk memantapkan keilmuannya karena waktu itu Mekkah merupakan sentral dalam keilmuan umat Islam.

Komparasi dan internalisasi keilmuan yang dilakukan Mbah Wahab terhadap keilmuan yang didapatkannya dari Ulama Indonesia dan Mekkah menjadikan beliau kaya akan sudut pandang. Tidak mudah kagetan dan moderat dalam berpikir ataupun dalam konteks gerakan.

Itulah Mbah Wahab. Meski beliau sudah dianugerahi status sosial yang tinggi sejak lahir, beliau tidak serta merta ongkang-ongkang kaki menikmati keistimewaannya.
Dengan ilmu-ilmu inilah, membuat beliau mampu menjadi orang yang arif dan futuristik. Tidak heran, ketika beliau kembali ke Tanah Air, banyak sekali gebrakan dan ide-ide segar yang dirumuskannya. Mulai dari geopolitik, nasionalisme, pendidikan, ekonomi, pers, organisasi dan politik.

Di tangan Mbah Wahab, Nahdlatul Ulama (NU) selalu menjadi pemain inti dalam konteks kenegaraan, tidak dengan spirit ingin diakoni, dikultuskan, apalagi untuk kepentingan paling jorok, yaitu pragmatisme.

Kita sebagai warga Nahdliyyin hanyalah generasi penerus para ‘Alim Ulama terdahulu, yang sejengkalpun tidak akan pernah mampu menyamai keilmuan serta keteguhannya dalam berjuang.

Waktu terus berjalan, hampir satu abad lamanya NU berdiri kokoh mengawal bumi pertiwi, rasa-rasanya hari ini, siapapun orangnya kok kurang lengkap kalau tidak ikut atau minimal mengklaim bahwa dia adalah warga Nahdliyyin.

Dari sosok Mbah Wahab kita belajar, bahwa perjuangan tidak cukup hanya dengan retorika semata, dan kontribusi lebih mulia daripada berebut klaim narasi.

Oleh: Ahmad Safarudin (Pengurus PB PMII dan Aktivis NU DKI)

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved