Ulasan Ibnu Khaldun tentang Cara Kerja Ilmu Tafsir Mimpi (Part I)
Dalam bahasa yang sering digunakan kaum sufi, kita mungkin sudah kenal dengan istilah kasyaf. Kasyaf merupakan fenomena ketersingkapan tabir ilahi ketika ruh sang sufi masuk ke alam ruhani atau alam non-inderawi. Kasyaf ini bisa dicapai melalui zikir yang terus menerus. Sebab, zikir merupakan makanan bergizi bagi ruh dan jiwa.
Fenomena mimpi (ar-ru’ya as-solihah) menurut Ibnu Khaldun kira-kira hampir mirip dengan fenomena kasyaf kaum sufi namun tentu dengan perbedaan yang cukup mendasar. Dalam kasyaf, fenomena yang dilihat oleh seorang sufi-wali ialah “kebenaran” sejati, sebuah kebenaran yang tidak dapat dibahasakan dengan kata-kata karena kata-kata tidak mampu menampung sesuatu yang berasal dari alam ruhani. Sementara itu, fenomena mimpi yang dilihat oleh seseorang yang sedang tidur terlelap ialah gambaran dan replika dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri.
Dengan kata-kata lain, dalam mimpi bukan hakikat kebenarannya yang dilihat. Yang dilihat dalam mimpi hanyalah simbol-simbol kenyataan yang merupakan cerminan dari kebenaran itu sendiri. Sebab itu, gambaran-gambaran dan replika-replika kebenaran (mitsalat) dalam mimpi tersebut, menurut Ibnu Khaldun, perlu ditafsirkan. Penafsiran dilakukan untuk melihat acuan yang direpresentasikan simbol-simbol tersebut. Dalam mimpi, replika-replika dari kebenaran ini juga harus disingkap makna-maknanya. Kesesuaian antara simbol dan acuan itulah yang kemudian disebut sebagai kebenaran mimpi.
Berdasarkan kerangka ini, pertanyaan yang dapat diajukan ialah bagaimana Ibnu Khaldun dapat melegitimasi mimpi sebagai bentuk kebenaran dan bagaimana pula simbol-simbol yang ada di dalamnya dapat ditafsirkan?
Ibnu Khaldun dalam karyanya, al-Muqaddimah, menjelaskan secara menarik terkait fenomena mimpi ini:
وأما الرؤيا فحقيقتها مطالعة النفس الناطقة في ذاتها الروحانية لمحة من صور الواقعات فإنها عندما تكون روحانية تكون صور الواقعات فيها موجودة بالفعل كما هو شأن الذوات الروحانية كلها. وتصير روحانية بأن تتجرد عن المواد الجسمانية والمدارك البدنية وقد يقع لها ذلك لمحة بسبب النوم كما نذكر، فتقتبس بها علم ما تتشوف إليه الأمور المستقبلة وتعود به إلى مداركها. فإن كان ذلك الاقتباس ضعيفاً وغير جلي بالمحاكاة والمثال في الخيال لتخلطه فيحتاج من أجل هذه المحاكاة إلى التعبير وقد يكون الاقتباس قوياً يستغنى فيه عن المحاكاة فلا يحتاج إلى تعبير لخلوصه من المثال والخيال.
“Mimpi pada dasarnya ialah hasil pengamatan jiwa aktif terhadap kilasan gambaran-gambaran kenyataan yang terdapat dalam entitas ruhani. Ketika memasuki alam ruh jiwa dapat melihat gambaran-gambaran kenyataan secara langsung. Gambaran-gambaran kenyataan ini sama halnya dengan entitas-entitas ruhani lainnya (seperti malaikat, ruh dan seterusnya). Jiwa akan memasuki alam ruh ketika ia mampu melepaskan dirinya dari belenggu-belenggu tubuh dan mekanisme jasmani. Masuknya jiwa ke alam ruh terkadang terjadi ketika tidur terlelap. Pada saat itu, jiwa dapat menangkap dan memahami pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang dan mampu menghadirkannya kembali ke dalam memori. Jika penangkapan dan penyerapan pengetahuan tersebut lemah dan tidak terlalu jelas, pengetahuan tersebut biasanya hanya berupa simbol-simbol dan replika-replika yang hadir dalam fantasi kita. Sebab itu, simbol-simbol ini harus ditafsirkan ulang. Terkadang penangkapan pengetahuan [tentang masa depan] oleh jiwa ini juga sangat jelas dan tidak berbentuk simbol-simbol sehingga tidak perlu ditafsirkan.”
Jadi mimpi ialah hasil dari cara kerja jiwa dalam menangkap fenomena-fenomena di alam ruhani saat kita tidur. Fenomena yang tertangkap oleh jiwa ini disimpan dan dihadirkan kembali dalam memori kita saat kita terbangun. Jika proses penyerapan jiwa terhadap entitas-entitas ruhani ini berlangsung secara jelas, yang muncul ialah mimpi yang benar dan tak perlu ditafsirkan namun jika proses penyerapan jiwa terhadap entitas-entitas ruhani ini terjadi secara kurang jelas dan samar, yang muncul ialah simbol-simbol yang perlu pemaknaan ulang, atau perlu ditafsirkan oleh pakar yang mampu menafsirkan mimpi dengan benar.
Melalui keterangan di atas, dapat kita lihat bahwa cara kerja jiwa dalam mengamati fenomena di alam ruhani hampir mirip dengan cara kerja rasio/akal dalam mengamati entitas-entitas konkret di alam nyata. Seperti halnya rasio yang cara kerjanya ialah menangkap entitas-entitas inderawi lalu menyerap dan mengirimkannya ke imaginasi, jiwa juga, ketika kita bermimpi, kata Ibnu Khaldun, mengirimkan fenomena-fenomena yang dilihatnya ke imaginasi. Hanya saja fenomena-fenomena yang dilihat oleh jiwa ini berbentuk gambaran-gambaran atau berbentuk simbol-simbol. Misalnya:
السلطان الأعظم، فيصوِّرُهُ الخيال بصورة البحر، أو يدرك العداوة فيصوّرها الخيال في صورة الحية
“seseorang melihat ‘raja’ lalu digambarkan oleh imaginasinya dalam bentuk ‘laut’ atau melihat ‘permusuhan’ lalu tergambarkan oleh imaginasinya dalam bentuk ‘ular’.”
Ketika seseorang terbangun dari tidurnya, yang diingatnya hanyalah bentuk ‘laut’ dan ‘ular’ ini, bukan ‘raja’ dan ‘permusuhan’. ‘Laut’ dan ‘ular’ itulah yang disebut gambaran-gambaran kenyataan dalam mimpi. Sebut saja ‘laut’ dan ‘ular’ ini sebagai simbol-simbol.
Jadi dua simbol ini diciptakan oleh imaginasi dan masing-masingnya merepresentasikan kebenaran yang diacunya: ‘raja’ dan ‘permusuhan’. Hadirnya simbol-simbol seperti ini disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa dalam menyerap kebenaran di alam ruhani secara jelas.
Sebab itu, dibutuhkanlah seseorang yang mampu menafsirkan simbol-simbol mimpi. Seseorang yang pakar dalam tafsir mimpi akan mampu memahami simbol-simbol yang dilihat oleh orang yang bermimpi tersebut serta dapat mencarikan acuan-acuan yang dirujuk simbol tadi (asybah).
Jadi bisa diibaratkan ada aturan-aturan umum (qawanin kulliyyah) yang menjelaskan relasi simbol dalam mimpi dan acuan yang dirujuknya itu. Mungkin bisa kita ibaratkan kamus untuk aturan umum ini. Kamus ini fungsinya ialah menjelaskan ‘kebenaran’ yang diwakili simbol dalam mimpi.
Jadi orang yang pakar dalam tafsir mimpi ini kira-kira menggunakan kamus ini dengan melihat:
ما تقتضيه القرائن التي تعين من هذه القوانين ما هو أليق بالرؤيا
“petunjuk-petunjuk yang memberikan informasi soal makna apa yang tepat untuk disematkan kepada simbol-simbol yang hadir dalam mimpi tersebut.”
Tapi tentunya, tidak semua yang dilihat seseorang dalam mimpi berbentuk simbol-simbol yang bisa ditafsirkan. Jadi selain ada mimpi yang benar atau ar-ru’ya as-salihah, ada juga mimpi yang hanya sekedar mimpi tanpa menyiratkan makna apa pun. Mimpi seperti ini prosesnya ialah berupa gambaran-gambaran inderawi yang disimpan oleh memori lalu dikirimkan ke imaginasi saat tidur.
Pada tahap selanjutnya, gambaran-gambaran yang dikirim ke imaginasi ini dapat dilihat kembali oleh orang yang sedang tidur. Jadi gambaran-gambaran dalam imaginasi ini tidak ada kaitannnya dengan mimpi yang benar seperti yang telah dijelaskan di atas. Jadi sebut saja fenomena ini sebagai bunga tidur, bukan mimpi yang menemukan kebenarannya pada kejadian-kejadian di masa mendatang.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy