Ulasan Ibnu Khaldun tentang Cara Kerja Ilmu Tafsir Mimpi (Part II)

Dalam artikel sebelumnya, telah dijelaskan bahwa mimpi menurut Ibnu Khaldun merupakan gambaran-gambaran kenyataan yang hadir dalam imaginasi kita dan kemudian tersimpan di memori. Gambaran ini merupakan hasil pencerapan jiwa secara aktif terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di alam ruh.

Selain itu, gambaran ini pula hadir dalam bentuk simbol-simbol ketika jiwa tidak dapat melihat secara jelas fenomena-fenomena di alam ruhani. Simbol-simbol inilah yang perlu dimintakan tafsirnya kepada ahli tafsir mimpi. Inilah penjelasan Ibnu Khaldun tentang mimpi yang benar. Adapun mimpi yang hanya sekedar bunga tidur, Ibnu Khaldun melihatnya sebagai fenomena pencerapan entitas-entitas konkret di dunia nyata dan kemudian disimpan oleh memori lalu dikirimkan ke imaginasi, dan oleh imaginasi, entitas-entitas ini dihadirkan ketika seseorang tidur terlelap.

Melalui penjelasan ini, mungkin kita akan bertanya-tanya kepada Ibnu Khaldun, bagaimana kita bisa membedakan mimpi yang benar dengan mimpi yang hanya sekedar bunga tidur? Apa garis pemisah yang membedakan mimpi yang berasal dari pencerapan fenomena di alam ruhani dengan mimpi yang berasal dari pencerapan fenomena di alam nyata yang hasilnya disimpan oleh memori, dan sementara itu, dua jenis mimpi ini sama-sama dibentuk dan diproduksi oleh imaginasi?

Sayangnya, Ibnu Khaldun tidak memberikan penjelasan lebih jauh terkait ini. Mungkin kesan kita ketika membaca al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun seolah sengaja menghindar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah hanya menjelaskan jenis-jenis mimpi yang menurutnya dapat dibagi menjadi tiga: mimpi dari Allah, mimpi dari malaikat, dan mimpi dari setan. Mimpi dari Allah ialah kebenaran yang nyata sehingga tidak perlu dimaknai ulang (semacam kasyaf). Mimpi dari malaikat ialah mimpi benar yang perlu penafsiran ulang yang dimintakan kepada ahlinya. Sementara itu, mimpi dari setan ialah mimpi buruk atau mimpi yang hanya sekedar bunga tidur.

Selain itu, sayangnya Ibnu Khaldun juga tidak menjelaskan secara lebih jauh dan rinci bagaimana seorang penafsir mimpi dapat sampai kepada penafsiran yang tepat atas simbol-simbol yang hadir dalam mimpi melalui petunjuk-petunjuk (al-qara’in) dan analogi-analogi (asybah) atau yang kita sebut sebagai kamus mimpi.

Aturan-aturan umum yang kita ibaratkan sebagai kamus mimpi tidak lain hanya penjelasan-penjelasan arbitrer yang tidak selalu bersesuaian dengan kenyataannya. Yang dimaksud arbitrer ini ialah penentuan simbol dengan maknanya itu bersifat semena-mena tanpa aturan yang ajeg. ‘Ular’ bagi kebanyakan mimpinya orang-orang Arab merupakan simbol ‘pemusuhan’ sedangkan bagi masyarakat Indonesia merupakan simbol ‘wanita’, misalnya. Jadi di sini kamus mimpi pun tidak bisa memastikan makna yang tepat.

Selain persoalan-persoalan di atas, kita juga bisa mengemukakan pertanyaan lagi, yakni, kenapa tafsir mimpi ini dikategorikan oleh Ibnu Khaldun sebagai ilmu dan apa alasannya, padahal secara objek dan cara kerja pengetahuan dari ilmu ini belum mendapat kejelasan?

Sampai di sini kita melihat bahwa Ibnu Khaldun mencoba berusaha menggunakan basis legitimasi yang bersifat naqli, yang diambil dari al-Quran dan hadis, untuk mengkategorikan tafsir mimpi ini sebagai sebuah ilmu. Yakni karena tafsir mimpi ada dalam al-Quran, yang dibuktikan dengan bagaimana nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi di penjara atau sewaktu beliau berada di Mesir, jadi tafsir mimpi dikategorikan sebagai ilmu. Sebab itu, karena mendapat rujukannya dari al-Quran, dan mungkin juga dari hadis nabi, tafsir mimpi bisa dikategorikan Ibnu Khaldun sebagai cara kerja pengetahuan yang layak disebut ilmu.

Karena mendapat basis legitimasinya dari al-Quran dan hadis, Ibnu Khaldun kemudian melangkah lebih jauh dengan mengkategorikan tasawwuf dan tafsir mimpi ke dalam kategori ilmu-ilmu naqli, ilmu yang mendapat basis legitimasi dan pembuktian kebenarannya hanya dari al-Quran dan sunnah.

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa tasawwuf dan tafsir mimpi merupakan dua ilmu naqli yang cara kerja pengetahuan dan sumber-sumbernya ialah jiwa. Jadi jiwa di sini disebut sebagai landasan epistemik bagi adanya ilmu tasawwuf dan ilmu tafsir mimpi. Jiwa bisa disebut perangkat sekaligus sumber pengetahuan.

Persoalan yang muncul kemudian ialah bagaimana tasawwuf dan tafsir mimpi disebut sebagai ilmu sementara pengetahuan yang dihasilkan oleh jiwa ini tidak boleh disampaikan dan ditransmisikan seperti halnya ilmu kalam, ilmu hadis, dan ilmu fikih misalnya?

Ibnu Khaldun sedari awal sudah sadar betul dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini karena itu beliau menegaskan bahwa dua ilmu ini termasuk kepada al-ulum al-hadithah fi al-millah (ilmu-ilmu baru dalam agama). Tasawwuf bukanlah sejenis ilmu pengetahuan. Tasawwuf hanyalah praktek amaliah keagamaan yang tujuannya ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan menjauhi diri dari kesibukan dunia.

Namun, tatkala ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama ini dikodifikasi pada masa tadwin pada abad kedua hijriah, tasawwuf pada tahap selanjutnya menjadi ilmu tersendiri yang tujuannya ialah memberikan jalan atau metode bagi seseorang untuk sampai ke musyahadah atau kasyaf (=penyingkapan tabir ilahi).

Atas dasar ini, kita sebut saja ilmu tasawwuf ini sebagai ilmu karena tasawwuf adalah ilmu tentang amalan dan perilaku keagamaan, bukan ilmu tentang pengetahuan. Tak hanya itu, fungsi ilmu ini hanya sebatas mengantarkan seorang hamba kepada tingkatan musyahadah/kasyaf. Musyahadah atau kasyaf itu sendiri bukanlah ilmu tapi hanya soal dzauq atau intuisi yang dialami seorang sufi-wali.

Sedangkan mimpi ialah sesuatu yang terjadi pada diri kita tanpa kita kehendaki sebelumnya. Mimpi disebabkan oleh terlepasnya jiwa (insilakh an-nafs) dari sesuatu yang bersifat inderawi selama kita tidur. Terlepasnya jiwa ini membuatnya memasuki alam ruhani, alam yang merupakan tempatnya berasal. Mimpi dengan kata-kata lain ialah sejenis kasyaf dalam tasawwuf, namun kasyafnya ialah kasyaf yang tidak langsung karena fenomena-fenomena dalam mimpi hadir dalam bentuk simbol-simbol yang perlu ditafsirkan kembali oleh ahlinya.

Penafsiran mimpi yang di awal-awal Islam terjadi secara spontan yang dilakukan oleh nabi dan para sahabat, pada tahap selanjutnya, terkhusus di era kodifikasi pengetahuan pada abad kedua, menjadi sebuah ilmu. Disebut ilmu karena ia menuliskan dan menyusun ulang tafsiran-tafsiran Nabi dan para sahabatnya terhadap mimpi sebagian orang di masa itu lalu tafsiran-tafsiran ini dijadikan sebagai aturan-aturan umum (al-qawaid al-kulliyyah).

Tak ayal lagi, di masa ini tafsir-tafsir Nabi dan para sahabat Nabi terhadap fenomena mimpi ini dikumpulkan, disusun ulang dan dibukukan yang pada tahap selanjutnya menjadi ilmu tersendiri. Jadi jangan kita definisikan ilmu dalam tafsir mimpi ini sebagai ilmu yang memenuhi syarat-syarat tertentu seperti rasional, objektif, empiris dan sistematis. Dari sekian syarat ini, ilmu tafsir mimpi hanya memenuhi syarat keempat, yakni sistematis. Sebab, tafsir-tafsir mimpi oleh nabi, sahabat dan tabi’in ini disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Allahu A’lam.

 

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved