Ulasan Ibnu Sina tentang Karamah Para Wali
Setiap sufi menempuh jalan yang berbeda-beda untuk menuju Tuhan. Namun dalam perbedaan tersebut, mereka disatukan dalam tujuan yang sama, kasyful mahjub, tersingkapnya tabir ilahi di hadapan mereka ketika sudah mencapai puncak tingkatan perjalanan spiritual, yaitu tingkatan al-fana. Pada tingkatan ini, seorang sufi bisa saja diberi anugrah khusus, anugrah kewalian berikut dengan karamah-karamah yang menegaskan atas kewaliannya. Jika nabi diberikan mukjizat untuk bisa membuktikan kenabiannya, wali dianugerahi karamah untuk memperkuat kewaliannya. Mukjizat dan karamah merupakan dua hal yang sama, kemampuan untuk mendatangkan peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan dan di luar nalar.
Al-Hujwiri menegaskan dalam kitabnya Kasyful Mahjub bahwa puncak tingkatan kewalian adalah awal tingkatan kenabian (ghayatul wilayah bidayatun nubuwwah). Pandangan ini jika dipahami lebih dalam lagi akan berimplikasi kepada persoalan yang cukup serius; yakni bahwa kenabian itu bukan hanya sesuatu yang given (terberi) namun juga sesuatu yang bisa diusahakan dan bisa dicapai dengan laku-laku khusus.
Jika pandangan al-Hujwiri ini diterima, berarti ada dua jenis nabi; pertama, nabi secara fitrah, nabi yang sedari awal diangkat menjadi nabi melalui fitrahnya yang suci (given) dan kedua, nabi secara iktisab, yakni bahwa kenabian itu bisa didapat melalui mujahadah dan riyadah yang terus menerus dari seorang sufi, dan ketika sudah tiba pada puncak kewalian, posisi puncak sufi ini sama seperti posisi awal kenabian.
Jadi implikasi yang cukup serius dari pandangan al-Hujwiri ini ialah perubahan status wali menjadi nabi. Klaim Ahmadiyyah yang menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi kemungkinan banyak menimba inspirasinya dari teori-teori tasawwuf ini, terutama dari pandangan al-Hujwiri seperti yang telah disebut di atas, yakni, ghayatul wilayah bidayatun nubuwwah (puncak tingkatan kewalian adalah awal tingkatan kenabian).
Namun terlepas dari kontroversi tingkat kenabian yang bisa diperoleh melalui mujahadah dan riyadhah ini, dalam pandangan kaum sufi, paling tidak, produk kewalian dan kenabian itu sama: yakni, terbukanya tirai kegaiban (kasyaf) dan teranugerahinya mukjizat dan karamah.
Untuk poin yang kedua, yakni teranugerahinya karamah bagi seorang sufi-wali, Ibnu Sina memberikan pendasaran secara rasional yang cukup menarik dalam kitabnya yang terkenal, al-Isyarat wa at-Tanbihat. Banyak ahli yang menyatakan bahwa al-Isyarat wa at-Tanbihat merupakan karya yang mencerminkan puncak kematangan Ibnu Sina dalam jagad pemikiran filsafat.
Di bagian akhir kitab ini, menariknya, Ibnu Sina mengulas pandangannya tentang karamah para wali dan pendasaran filosofisnya bagi kebenaran karamah tersebut. At-Thusi, pensyarah kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat, mengatakan bahwa dalam kitab ini: “Ibnu Sina berbeda dari Aristoteles dalam menyusun bab-bab kitabnya: Ibnu Sina mencampur adukan satu bidang ilmu dengan bidang ilmu lainnya (ilmu alam dan metafisika) sesuai dengan susunan kitab yang dipilihnya sendiri.”
Susunan kitab yang dimaksud oleh at-Thusi ini ialah ulasan bagian ketiga pertama kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat yang berisi logika, ilmu alam dan metafisika. Ketiga ilmu yang disebut ini menjadi batu loncatan bagi Ibnu Sina untuk membahas tasawwuf di bagian keempat, bagian paling akhir.
Jadi kemungkinan besar tujuan dari penyusunan urutan bab seperti ini agar tiga bagian pertama karyanya menjadi basis rasional bagi bagian terakhir, yakni bagian keempat. Artinya bagian yang menjelaskan tentang hal-hal yang sifatnya rasional: logika, ilmu alam dan metafisika menjadi pendasaran filosofis bagi bagian kitab yang mengulas tasawwuf, bagian keempat. Jadi tiga bagian awal kitab yang rasional menjelaskan secara filosofis bagian keempat kitab yang irasional.
Dalam kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat, Ibnu Sina mengatakan demikian:
ولعلك قد تبلغك عن العارفين أخبار تكاد تأتي بقلب العادة، فتبادر إلى التكذيب وذلك مثل ما يقال إن عارفا استسقى للناس فسقوا، أو استشفى لهم فشفوا، أو دعا عليهم فخسفت بهم وتزلزلوا أو هلكوا بوجه آخر، ودعي لهم فصرف عنهم الوباء والموتان والسيل والطوفان، أو خشع لبعضهم سبع أو لم ينفر عنهم طائر أو مثل ذلك مما يؤخذ في طريق الممتنع الصريح، فتوقف ولا تعجل فإن لأمثال هذه أسبابا في أسرار الطبيعة، وربما يأتي لي أن أقصها عليك.
“Barangkali kita pernah mendapat informasi tentang orang-orang sufi yang dapat mendatangkan peristiwa-peristiwa luar biasa lalu kita langsung mencapnya sebagai berita bohong. Misalnya ketika kita mendengar ada seorang sufi yang dimintai doa agar diturunkan hujan lalu hujan pun turun atau dimintai untuk doa kesembuhan lalu orang yang sakit itu pun sembuh, atau ketika sang sufi mendoakan keburukan lalu mereka ditelan oleh bumi dan binasa, atau ketika sang sufi mendoakan kebaikan seketika mereka selamat dari wabah, banjir, angin topan atau ketika sang sufi dapat menjinakan binatang buas atau dapat menghilangkan kesialan dari mereka dan seterusnya yang dapat dikategorikan sebagai mustahil. Untuk merespon semua ini, janganlah tergesa-gesa menyimpulkan sebagai berita bohong karena peristiwa-peristiwa ini ada sebab-sebabnya yang tersembunyi di balik rahasia alam. Aku akan ceritakan alasan kenapa peristiwa di luar jangkauan nalar ini terjadi.”
Melalui kutipan ini, apakah Ibnu Sina dapat dikategorikan sebagai seorang sufi karena membela tasawwuf? Sejatinya, Ibnu Sina bukanlah seorang sufi bahkan kehidupannya, setidaknya menurut beberapa sumber, amat jauh dari perilaku hidup sufi. Yang dilakukan Ibnu Sina dalam al-Isyarat wa at-Tanbihat ialah memberi basis legitimasi yang rasional bagi peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi melalui kehendak seorang sufi-wali. Karena itu, Ibnu Sina menegaskan teorinya ini:
إن الأمور الغريبة تنبعث في عالم الطبيعة من مبادئ ثلاثة: أحدها الهيئات النفسانية المذكورة، ثانيها خواص الأجسام العنصرية، مثل جذب المغناطيس الحديد بقوة تخصه وثالثها، قوى سماوية بينها وبين أمزجة أجسام أرضية مخصوصة بهيئات وضعية أو بينها وبين قوى نفوس أرضية مخصوصة بأحوال فلكية، فعلية أو انفعالية، مناسبة تستتبع حدوث آثار غريبة.
“Semua sebab untuk peristiwa-peristiwa yang berada di luar jangkauan nalar ini sebenarnya terjadi di sekeliling kita melalui tiga prinsip: pertama, pengaruh yang sifatnya psikologis seperti telah disebut di atas (maksudnya pengaruh jiwa manusia terhadap jiwa manusia lainnya atau pengaruh jiwa manusia terhadap alam); kedua, daya internal suatu materi. Misalnya magnet dapat menarik besi disebabkan karena daya internal dalam magnet itu sendiri (sebab-sebab alami). Ketiga, pengaruh kekuatan benda-benda langit terhadap benda-benda bumi melalui mekanisme kerja tertentu atau pengaruh hubungan antara jiwa-jiwa di bumi dengan jiwa-jiwa di planet (dewa-dewa) baik secara aktif maupun pasif yang melahirkan peristiwa-peristiwa aneh dan tidak masuk akal.”
Menurut Ibnu Sina, sihir termasuk ke dalam prinsip pertama, mukjizat dan karamah dikategorikan sebagai prinsip kedua sedangkan amuletum (tolasmat dalam bahasa Arab atau talisman dalam bahasa Inggris: semacam jimat dalam bahasa Indonesia), yakni “sejenis benda yang melindungi seseorang dari kesulitan” dimasukkan ke dalam prinsip ketiga.
Ibnu Sina menegaskan bahwa kita tidak boleh tidak percaya kepada fenomena sihir, karamah, mukjizat dan pengaruh jimat-jimat. Kita harus percaya, kata Ibnu Sina, terhadap fenomena supranatural seperti ini. Bahkan kalau kita tidak percaya, Ibnu Sina menganggap ketidakpercayaan ini sebagai keyakinan yang lahir dari kekurangan dan kelemahan pikir (taisy wa ajz).
Karena begitu percayanya terhadap kekuatan supranatural ini, Ibnu Sina sampai-sampai menyebutnya sebagai zubdatul haqq (inti kebenaran) dan orang yang tidak mempercayainya sebagai jahil dan tidak dikaruniai kecerdasan (lam yurzaq al-fithnah wa ad-darbah wal adah).
Dalam pandangan Ibnu Sina ini, jelaslah bahwa yang menjadi tersangka ialah logika dan nalar. Nalar rasional dihancurkan basis kekuatannya dengan meminta kita percaya kepada pengaruh dari sihir, karamah, dan jimat-jimat. Inilah filsafat irasional Ibnu Sina yang terwariskan kepada sufisme ala al-Ghazali, Ibnu Arabi, as-Suhrawardi, Ibnu Faridh dan lain-lain. Allahu A’lam.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy