Ulasan Ibnu Sina tentang Manfaat Ziarah ke Makam Wali

Ziarah kubur merupakan tradisi yang sering mengundang polemik di kalangan agamawan, terutama jika yang diziarahi ialah orang-orang suci. Ada yang mendukung dan ada pula yang menolaknya. Argumen dari kedua belah pihak tetap sama. Semuanya bermuara pada apakah ziarah ini akan menjerumus ke arah syirik atau tidak. Bagi yang menilai akan menjerumuskan ke arah syirik, tentu praktik ini tidak dibenarkan dan bagi yang berpandangan sebaliknya, praktik ini tidak menjadi masalah jika dilakukan.

Kebanyakan bagi kalangan yang membolehkan, menziarahi kubur para wali atau orang suci dapat mendatangkan keberkahan tersendiri mengingat bahwa mereka merupakan orang-orang yang pernah menjadi wadah bagi turunnya rahmat Allah sehingga menziarahi kubur mereka sama saja dengan mendatangi sumber-sumber rahmat.

Menariknya, yang berpandangan demikian ini tidak hanya dipegang oleh sebagian ulama saja, bahkan oleh filosof sekaliber Ibnu Sina berkeyakinan bahwa orang-orang suci dapat memberikan kebaikan dan menolak keburukan meski mereka sudah meninggal dunia. Menurut Ibnu Sina, orang-orang yang masih hidup dan memiliki hati bersih dapat berkomunikasi secara langsung dengan mereka dari alam kubur.

Pendapat yang menarik ini misalnya dapat kita baca dalam surat yang dikirimkan oleh Ibnu Sina kepada Abu al-Khair seperti yang terdokumentasikan dengan baik dalam Rasa’il Ibnu Sina fi al-Hikmah al-Masyriqiyyah. Dalam suratnya ini, Ibnu Sina mengatakan:

إذا فارقت نفس من النفوس بدنها – وكانت من النفوس السعيدة التي استكملت جوهريتها قبل مفارقتها البدن- بقيت في عالمها سعيدة أبد الآبدين مع أشباهها من العقول والنفوس مؤثرة في هذا العالم تأثير العقول السماوية. ثم الغرض من الدعاء والزيارة (=زيارة القبور) أن النفوس الزائرة المتصلة بالبدن غير المفارقة...تستمد من تلك النفوس المزورة جلب خير أو دفع ضر...فلا بد للنفوس المزورة، لمشابهتها العقول (=السماوية) ولجوارها (=لها)، تؤثر تأثيرا عظيما وتمد إمدادا تاما بحسب اختلاف الأحوال.

“Jika ada seseorang yang meninggal dunia dan dia termasuk ke dalam golongan jiwa yang suci sebelum meninggalkan tubuhnya (mati), maka ia akan tetap tinggal selamanya di alam ruh dalam keadaan penuh kebahagiaan bersama dengan akal-akal dan jiwa-jiwa [yang tenang] dan dapat memberikan pengaruh [terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi] di dunia seperti halnya pengaruh yang dipancarkan oleh akal-akal langit.

Jadi tujuan dari doa dan ziarah (menziarahi kubur orang suci) ialah agar orang-orang yang berziarah tersebut berinteraksi dengan orang suci yang diziarahi untuk mendapat kekuatan yang mendatangkan kebaikan atau menolak kemudaratan (Baca: ngalap berkah)…dan tentunya, jiwa-jiwa (orang yang soleh) yang diziarahi tersebut, karena berkedudukan sama dengan akal-akal langit dan karena tinggal berdekatan dengan mereka, dapat  memberikan pengaruh secara sempurna (terhadap peristiwa di dunia) tergantung kepada berbagai kondisi dan situasi.

Kutipan panjang seperti ini mungkin dapat menimbulkan tanda tanya soal mengapa sosok filosof Ibnu Sina yang sejatinya membangun filsafatnya di atas fondasi-fondasi rasional jatuh ke dalam irasionalisme sejati seperti yang dibuktikan dalam pandangannya tentang kemungkinan orang mati masih bisa berinteraksi dengan orang hidup dan bahkan memberikan pengaruh yang luar biasa besar terhadap mereka.

Pandangan ini jelas tidak bisa dilepaskan dari pandangan Ibnu Sina lainnya yang berkenaan dengan kepercayaan bahwa benda-benda langit (al-ajram as-samawiyah) itu hidup. Karena itu, kita akan coba hadirkan pandangan Ibnu Sina berkenaan dengan kemampuan benda-benda langit dalam menalar, berfikir, bertindak sesuatu layaknya manusia. Hal demikian seperti yang dapat kita temukan dalam bukunya yang terkenal al-Hikmah al-Masyriqiyyah:

الكواكب لها قوة التخيل، وهذه القوة لها تامة، فلهذا تؤثر فينا

“Bintang-bintang memiliki kekuatan imaginasi yang tinggi dan kekuatan ini sangatlah sempurna sehingga dapat memengaruhi kehidupan kita”.

Jika kita kaitkan dengan pandangan bahwa orang suci yang telah mati tinggal di dekat bintang-bintang imaginasi, maka akan dapat dipastikan bahwa mereka, kata Ibnu Sina, juga memiliki kekuatan untuk menalar, berfikir, bertindak atau bahkan memengaruhi kehidupan di bumi. Dan jika kita kaitkan lagi dengan orang-orang yang menziarahi wali-wali suci, bisa dipastikan, masih menurut Ibnu Sina, bahwa orang tersebut akan mendapat keberkahan yang nyata berdasarkan kepada kekuatan yang dipancarkan oleh orang yang suci tersebut.

Singkatnya, Ibnu Sina percaya bahwa menziarahi orang-orang suci yang sudah meninggal itu dapat mendatangkan kebaikan dan keberkahan. Selain itu, mereka juga dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang-orang yang masih hidup dengan catatan masing-masing memiliki hati yang bersih.

Jika pandangan ini dapat diterima, maka cerita tentang bagaimana Ibnu Taymiyyah, sosok ulama yang diklaim sebagai leluhurnya gerakan Wahabi, menyelesaikan persoalan-persoalan waris dari alam kubur atau cerita mengenai bagaimana Gus Dur berbicara dengan Mbah Mutamakkin dan para wali lainnya dari alam kuburnya bisa juga diterima jika dibaca dari perspektif sinawiyan ini.

Ada banyak cerita, misalnya, tentang seseorang yang ingin terpilih sebagai DPR, atau ingin menjadi kaya raya, atau ingin terlepas dari hutang, dan ternyata solusinya ialah ziarah ke makam wali dan itu berhasil. Di sini bukan soal meminta pertolongan ke wali, tapi si peziarah dalam perspektif Ibnu Sina, sedang menyerap energi positif (baca: ngalap berkah) dari pancaran rahmat yang pernah Allah karuniakan kepada ahli kubur semasa hidupnya, untuk kemudian dapat dimanfaatkannya untuk berbagai keperlua atau maksud yang dituju.

Namun persoalannya, rasionalkah pandangan demikian? Jawabnya, apapun argumennya, jika masalah ini dilihat dari sudut pandang yang logis, rasional dan positifistik, tentu tidak akan dapat diterima. Peristiwa seperti ini hanya bisa dipahami lewat jiwa, bukan rasio. Sebab, kemampuan rasio hanya mampu memahami yang tercerap secara inderawi sedangkan kemampuan jiwa dapat memahami realitas yang tak terindera, tentu jika dilatih dengan baik melalui zikir dan ritual-ritual tertentu.

Dan menariknya, filosof sekaliber Ibnu Sina, yang sangat terkenal dalam jagad raya pemikiran filsafat Islam dan pengaruh pemikirannya yang besar terhadap para pemikir setelahnya, mengakui kemungkinan orang mati masih bisa berinteraksi dengan orang hidup. Semua itu dibahas dalam bingkai filsafat Timur yang ditimbanya dari hasil interaksinya dengan pemikiran Syiah Isma’iliyyah, Neoplatonisme dan filsafat Hermes. Allah A’lam.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved