Ulasan Toshihiko Izutsu tentang Wahdatul Wujud Ibnu Arabi
Seorang orientalis berkebangsaan Jepang, Toshihiko Izutsu, adalah sosok yang mengabdikan dirinya untuk mempelajari aspek-aspek linguistik Alquran dan aspek-aspek esoterik Islam. Ulasannya tentang aspek linguistik Alquran dapat kita temukan dalam dua karyanya yang berjudul Ethico Religious Concept of the Quran dan God and Man.
Dalam dua karyanya ini, Toshihiko Izutsu mencoba menelaah konsep-konsep Alquran seperti kufur, iman, syukur, al-kitab dan lain-lain dengan menggunakan pendekatan semantik atau lebih tepatnya, ia menggunakan pendekatan semantic field.
Sedangkan penelitiannya tentang aspek esoterik Islam, tasawwuf, ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul Unicité de l’Existence et Création Perpétuel en Mystique Islamique. Izutsu dalam bukunya ini tidak hanya menyajikan tasawwuf Islam menurut dua tokoh sufi besar, Ibnu Arabi dan Ayn al-Quzat Hamadani namun juga membangun metafilsafat dengan melakukan perbandingan dengan gagasan-gagasan mistisisme Advaïta-Vedanta, Taoïsme, Bouddhisme Zen.
Sebagian orientalis ada yang berpandangan bahwa wahdatul wujud merupakan istilah yang lahir dari musuh-musuh intelektual Ibnu Arabi dan bukan dari Ibnu Arabi sendiri, terutama ketika muncul kritikan-kritikan dari Ibnu Taymiyyah.
Konon tujuan disematkannya istilah ini kepada Ibnu Arabi ialah untuk mendelegitimasi kredibilitas kebenaran ajaran-ajaran tasawwufnya dan yang sehaluan dengannya. Sebagian lagi ada yang berpandangan bahwa paham ini sebenarnya dikembangkan oleh salah satu murid Ibnu Arabi yang bernama Shadruddin al-Qunawi.
Jadi menurut banyak kalangan akademisi, kata wahdatul wujud itu sendiri tidak pernah ditemukan dan bahkan tidak pernah tercetuskan dalam berbagai karya Ibnu Arabi. Kendati demikian, ada beberapa konsep yang disajikan Ibnu Arabi, terutama dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah yang mengandung konotasi ke arah paham wahdatul wujud.
Dalam Unicité de l’Existence ini (ulasan di sini didasarkan pada hal. 54), Toshihiko Izutsu menyajikan ilustrasi menarik tentang paham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Sebelum kita mengulas tafsir Toshihiko Izutsu terhadap wahdatul wujud Ibnu Arabi ini, kita tekankan terlebih dahulu bahwa wahdatul wujud tidak identik dengan istilah pantheisme seperti yang umum dipahami oleh kalangan sarjana Barat.
Dalam paham pantheisme, Allah adalah alam dan alam adalah Allah. Jadi alam bukanlah manifestasi dari Allah melainkan alam itu sendiri ialah Allah. Paham wahdatul wujud jelas sangat jauh dari konsepsi pantheisme seperti ini. Ibnu Arabi bahkan menolak konsep kesatuan eksistensial antara Allah dan makhluknya dan bahkan menilainya sebagai sebuah kekeliruan. Dalam kitab al-Masa’il (Rasa’il Ibnu Arabi), beliau menegaskan:
ومن هنا زلّت أقدام طائفة عن مجرى التحقيق فقالت ما ثمّ إلاّ ما ترى، فجعلت العالم هو الله والله نفس العالم ليس أمرا آخر، وسببه هذا المشهد لأنّهم ما تحقّقوا به تحقّق أهله فلو تحقّقوا به ما قالوا بذلك وأثبتوا كلّ حقّ في موطنه علما وكشفا
“Berangkat dari konsepsi seperti ini, banyak orang yang terpeleset dari kebenaran sehingga berkeyakinan bahwa tidak ada wujud selain yang kita lihat: alam adalah Allah dan Allah tidak lain ialah alam itu sendiri. Alasan keyakinan keliru ini ialah terjadinya fenomena (masyhad) seolah Allah dan alam identik dan itu karena mereka tidak mampu mengidentifikasi lebih jauh seperti yang dilakukan oleh para ahlinya. Andai saja mereka meneliti lebih jauh, mereka tidak perlu berkeyakinan keliru seperti ini dan mereka semestinya memosisikan kebenaran pada tempatnya berdasarkan pada kasyaf dan ilmu.”
Melalui kutipan ini, jelaslah bahwa panteisme sangat berbeda dengan wahdatul wujud. Lalu apa sebenarnya arti wahdatul wujud itu sendiri? Sampai di sini kita coba sajikan tafsiran Toshihiko Izutsu terhadap kata paham wahdatul wujud. Meskipun kerangka yang digunakan sangatlah filosofis, Toshihiko Izutsu memberikan ilustrasi yang sederhana terkait paham ini melalui ungkapan “bunga itu ada”.
Bagi para penganut paham wahdatul wujud, terutama Ibnu Arabi, sebenarnya substansi yang hakiki dalam ungkapan “bunga itu ada” ialah ‘ada’ atau ‘wujud’ itu sendiri sedangkan bunga hanyalah sifat. Bunga dalam ungkapan tersebut hanyalah salah satu sifat yang mengejawantahkan wujud atau eksistensi ke dalam bentuk lahirnya.
Jika dilihat secara sintaksis, bunga dalam ungkapan tersebut kelas katanya ialah nomina sedangkan wujud atau ‘ada’ kelas katanya ialah predikat ajektifa. Dan ini akan berbeda jika dilihat dari sudut pandang metafisis. Dilihat dari sudut pandangan metafisis, bunga bukanlah nomina tapi adjektifa bagi satu hakikat yang dinamai wujud atau ada. Jadi yang ‘ada’ secara hakiki ialah wujud secara mutlak, bukan bunganya. Bunga hanyalah salah satu wadah bagi manifestasi wujud itu sendiri.
Bunga dengan kata-kata lain hanyalah sifat atau aksiden yang memberikan penjelasan bagi wujud dan sekaligus yang mengikat makna wujud ke dalam bentuk lahirnya. Sedangkan wujud murni, sebenarnya tidak memiliki sifat dan karakteristik. Wujud murni ialah kesatuan mutlak tak terbatas. Dan karena Wujud itu hanya milik Allah, bukan milik kita dan meski kita mewujud, wujud kita itu ada karena Allah dan karena diberi wujud oleh Allah maka wujud kita itu sendiri sama seperti tidak wujud atau tidak ada. Jadi yang hakiki hanya yang Maha Mawjud, yakni Allah.
Selain Allah, hanyalah wujud semu. Inilah makna wahdatul wujud Ibnu Arabi seperti yang ditegaskan oleh Toshihiko Izutsu dalam karyanya tersebut. Jadi selain Allah, semuanya disebut ketiadaan sedangkan wujud yang hakiki, bukan wujud yang semu, ialah Allah itu sendiri. Begitulah kira-kira tafsir Izutsu terhadap paham wahdatul wujud.
Sampai di sini tampaknya, wahdatul wujud ala Ibnu Arabi ini masih dalam kerangka spritual, bukan dalam kerangka fisik. Allah A’lam.
Peneliti Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy