Yesus Kristus, Salib dan Sisi Lain Ibnu Arabi yang Kristen (Part I)

Yesus Kristus memiliki kedudukan tersendiri dalam karya-karya sufistik Ibnu Arabi. Ulasan tentang Yesus ini tercecer dalam berbagai bagian kitabnya baik di kitab al-Futuhat al-Makkiyyah, Fushush al-Hikam maupun di kitab Anqa’u Maghrib. Semua kitab ini sebenarnya menjelaskan tentang pengalaman pribadi Ibnu Arabi dalam menapaki jalan spritual menuju Allah.

Hubungan Ibnu Arabi dengan Yesus bermula ketika mengawali perjalanan spritualnya di maqam isawi (nabi Isa), maqam pertama dalam tahapan sufi atau sebut saja maqam taubat, sampai kemudian menuju maqam terakhir, yakni maqam muhmmadi. Di antara dua makam ini, Ibnu Arabi juga menapaki maqam musawi, maqam hudi (nabi Hud) dan maqam para nabi lainnya. Ketika berada di maqam Isawiyyah, Ibnu Arabi mengklaim sering bertemu dengan Yesus Kristus. Di maqam ini pula, Ibnu Arabi bertobat melalui Yesus Kristus. Di awal-awal perjalanan spritualnya, ke-Yesus-an Ibnu Arabi tampak dalam sikap ketidaksukaannya terhadap wanita dan kecintaannya terhadap hidup fakir dan miskin.

Yesus Kristus berpesan kepada Ibnu Arabi untuk tetap hidup zuhud dan tajrid (hidup lajang tanpa pasangan) dan berpesan pula agar sekretaris Ibnu Arabi menuliskan shakk wilayah atau semacam upacara pengangkatan status wali bagi para penempuh jalan kesufian. Begitulah kira-kira kenapa Ibnu Arabi serasa lebih dekat dengan sosok Yesus Kristus di alam ruhani.

Sebelum kita mengulas pandangan Ibnu Arabi tentang salib (akan kita sajikan di bagian kedua artikel ini), kita coba paparkan terlebih dahulu hakikat Yesus seperti yang terekam secara berserakan dalam berbagai karya Ibnu Arabi. Kita fokuskan kajian pada kitab al-Futuhat al-Makkiyyah, Fushush al-Hikam dan Anqa Maghrib.

Ibnu Arabi berusaha mendekati persoalan hakikat Yesus Kristus ini dari dua perspektif sekaligus: iman dan nalar.

Menurut Ibnu Arabi jisim manusia meski secara batasan, hakikat, bentuk fisik dan psikisnya sama namun secara proses penciptaannya berbeda. Karena mekanisme penciptaannya berbeda-beda, tentu model jisimnya juga bermacam-macam.

Ibnu Arabi dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah menyajikan pandangan yang cukup komperehensif tentang penciptaan spesies manusia. Jisim manusia, bagi Ibnu Arabi, meski merupakan satu spesies yang sama namun terbagi menjadi beberapa jenis; pertama, jisim Adam; kedua, jisim Hawa; ketiga, jisim keturunan Adam dan Hawa dan yang keempat, jisim Yesus Kristus. Jisim Adam tercipta tanpa relasi biologis antara laki-laki dan wanita, jisim Hawa tercipta dari laki-laki, jisim manusia keturunan Adam tercipta dari hubungan Adam dan istrinya, Hawa dan jisim Yesus tercipta dari wanita tanpa tersentuh laki-laki.

Dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah, Ibnu Arabi menjelaskan kepada kita tentang keempat jisim ini secara ringkas; jisim pertama, jisim Adam, berasal dari tanah yang tercipta tanpa hubungan biologis antara laki-laki dan wanita. Penciptaan jisim Adam ini sama halnya seperti pembuatan patung  tanah oleh pengrajin patung. Jisim Hawa tercipta dari tulang rusuk laki-laki. Di alam kenyataan, prosesnya sama seperti pengukiran gambar dan bentuk pada kayu.

Ketika Allah menciptakan Hawa dari jisimnya Adam, terjadilah kekosongan dalam diri Adam akibat dari keluarnya salah satu bagian dari jisimnya. Lalu Allah pun menciptakan dalam diri Adam syahwat terhadap perempuan. Ketika Adam diliputi nafsu, keluarlah air maninya menuju rahim Hawa dan terbentuklah jisim ketiga (manusia) di dalamnya dari waktu ke waktu dan Allah pun kemudian meniupkan ruh pada jisim. Jadi jisim ketiga tercipta dari hubungan biologis antara laki-laki dan wanita.

Sedangkan jenis keempat, yakni jisim Yesus Kristus, jika dilihat secara penciptaan, bagi Ibnu Arabi, tentu sangat berbeda dari mekanisme penciptaan ketiga jisim sebelumnya. Kendati berbeda, ada beberapa kesamaan; Yesus Kristus sama dengan Adam karena kedua-duanya tercipta tanpa bapak. Yesus Kristus mirip dengan Hawa karena keduanya berasal satu spesies manusia dan mirip dengan manusia pada umumnya karena tumbuh dan berkembang dalam rahim (lihat Fushush al-Hikam).

Perbedaan yang cukup signifikan antara jisim Yesus dan ketiga jenis jisim sebelumnya menurut Ibnu Arabi ialah karena “jisim dan tubuh Yesus hadir secara bersamaan dengan  ruhnya.” Pandangan ini jelas menunjukkan bahwa jisim manusia tercipta sebelum ditiupkan ruh. Jadi terbentuknya badan dan ruh manusia merupakan dua peristiwa secara berurutan dan tidak terjadi secara bersamaan dan secara sekaligus. Ketika tubuh manusia sudah lengkap dan sempurna, ditiupkanlah ruh ke dalam tubuhnya. Sedangkan jisim Yesus Kristus terbentuk dari tiupan ruh dari Allah dan di saat bersamaan terciptalah jisimnya. Jadi tiupan ruh dan terbentuknya jisim terjadi secara sekaligus dalam diri Yesus.

Karena terjadi secara bersamaan ini pulalah ruh Yesus Kristus sebenarnya ialah dirinya sendiri. Hayat atau kehidupan merupakan sesuatu yang melekat dalam diri Yesus (al-hayat dzatiyatun lahu). Ringkasnya, kata Ibnu Arabi, Yesus itu bukan jisim yang memiliki ruh melainkan ruh yang muncul dalam bentuk manusia. Ibnu Arabi kemudian memberikan contoh malaikat Jibril yang terkadang nampak di hadapan nabi dalam bentuk seorang laki-laki. Nah kira-kira ilustrasi seperti itu berlaku juga bagi Yesus Kristus.

Jadi Yesus dalam pandangan Ibnu Arabi tidak seperti kebanyakan manusia yang terdiri dari jisim dan ruh. Bahkan Ibnu Arabi melangkah lebih jauh lagi, yakni bahwa tubuh Yesus itu wujud yang imaginatif (mutakhayyal). Jisim atau jasadnya merupakan manifestasi lahir dari ruhnya. Oleh karena itu, Yesus Kristus secara substansi merupakan ruh yang menjadi tubuh (ruh tajassadat) bukan tubuh yang ditiupkan ruh. Lalu apa implikasi dari pandangan bahwa Yesus ialah ruh yang menubuh (ruh tajassadat)? Ibnu Arabi menegaskan dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah bahwa Yesus memiliki karakteristik yang ada pada ruh, dan yang terpenting dari karakteristik ini ialah sifat hayat yang melekat dalam dirinya. Dan karena ruh dan hayat tidak bisa dipisahkan, maka ketika ruh tersebut menyentuh jisim maka jisim tersebut akan hidup dengan sendirinya.

Untuk memperkuat pandangannya ini, Ibnu Arabi mengambil contoh Samiri yang dikisahkan dalam Alquran. Karena tahu bahwa salah satu karakteristik ruh ialah memberi kehidupan, Samiri kemudian memegang bekas Jibril yang juga ruh. Kemudian bekas Jibril ini ia tiupkan ke patung sapi sehingga ia dapat hidup dan berbicara.

Dan karena dikategorikan sebagai ruh ilahi, sementara ruh dan hayat tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa dibedakan, Yesus Kristus dapat menghidupkan orang yang sudah mati dengan tiupan. Pembaca mungkin bertanya apa kaitan ini semua dengan simbol salib? Kita lanjutkan tulisan ini dalam artikel berikutnya.

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved