Lembaga Kajian Dialektika: Reorientasi Gerakan Islam Bisa Jadi Alternatif Selesaikan Masalah Ummat Islam
Gerakan umat Islam harus memiliki sesuatu yang real yang membumi hingga akar rumput untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ummat Islam. Dibutuhkan reorientasi pembangunan Gerakan Islam melalui gerakan Islam berbasis kultural, dengan paltform dan agenda yang jelas, lebih substantif dan mengedepankan internasionalisme atau rahmatan lil alamin.
Hal ini muncul saat diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Dialektika dengan tema ‘Menakar Gerakan Islam Selama dan Pasca Pandemi’. Hadir sebagai narasumber Muhammad Al Fayyadl (FNKSDA), Aji Dedi Mulawarman (Rumah Penelh Jang Oetama) dan Tumpal Panggabean (Sekjen MPP ICMI Muda). Dengan di moderatori oleh Direktur Dialektika, Muhammad Khutub. Pada Rabu (24/06/2020).
Salah satu nara sumber diskusi, Tumpal Panggabean, (Sekjen Icmi MUDA) menyampaikan fakta bahwa ummat Islam selama ini hanya menjadi konsumsi politik, umat Islam tidak pernah merasakan buah hasil perjuangan yang sesungguhnya. Umat Islam selalu menjadi objek yang dimanfaatkan oleh elit-elit oligarki.
“Umat Islam selalu menjadi objek yang dimanfaatkan, dijadikan kendaraan elit elit tertentu untuk kekuasaan dan kepentingan politik praktis. Ulama harus sudah bisa memahami bahwa ada panggung depan dan panggung belakang. Panggung politik sulit diketemukan dengan panggung dakwah mengingat politik sangat cair sementara panggung dakwah lebih hitam putih”. Ujar Tumpal, Sapaan akrab Tumpal Panggabean.
Tumpal mengajak gerakan umat Islam agar kedepan tidak lagi menjadi objek politik. “Umat Islam harus ikut andil dalam permainan, sudah saatnya para aktivis gerakan yang muda turun lapangan, sudah saatnya adanya gerakan nyata, karya nyata untuk membangun umat Islam. Agar umat Islam dapat mereasakan kemerdekaan yang sesungguhnya”. Tambah Tumpal Panggabean.
Sementara itu, narasumber lain, Aji Dedi Mulawarman, (Rumah Peneleh Jang Oetama), menyampaikan tentang pentingnya membangun kembali gerakan Islam. Gerakan Islam haruslah gerakan yang terstruktur bukan gerakan yang sifatnya antisipatif. Dengan membangun gerakan Islam berbasis kultural yang kuat karena peradaban yang besar beorientasi pada kekuatan kulturalnya.
“Politik Islam itu kuat, tidak lemah. Islam sebagai agama sangat kokoh, Islam sebagai gerakan politik yang masih terlihat lambat dan terhambat. Dalam situasu pandemi kita umat Islam harus tetap melakukan konsolidasi sebagaimana dahulu HOS Cokroaminoto juga melakukan konsolidasi saat pandemi dengan gerakan yang terstruktur. Bukan gerakan yang antisipatif seperti gerakan di Indonesia era 1965 maupun reformasi 1998 saat merespon situasi krisis di dunia”. Ujar Aji dalam pemaprannya.
Aji menambahkan, Saat ini kita banyak terjebak dalam politik pragtis dan berpikir secara pragmatis. organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah sejatinya memiliki peran penting membangun gerakan Islam berbasis kultural, yang terstruktur, memiliki platform dan orientasi yang jelas.
“Peradaban besar berorientasi pada kekuatan kulturalnya, Islam akan kuat kalo gerakannya itu terstruktur, bukan gerakan yang sifatnya anisipatif. Gerakan Islam harus punya sesuatu yang real di akar rumput dengan adanya platform yang jelas. Harus ada blue print yang real untuk menyelesaikan masalh-masalah umat Islam. Gerakan agar tidak lagi private seperti NU hanya ngurusin NU tanpa peduli yang lain pun juga Muhamamdiyah. Jika ada platform gerakan Islam akan mudah terwujud gerakan Islam yang kokoh dan mampu menjawab persoalan ummat Islam”. Jelas Aji.
Hal senada disampaikan oleh Muhamamd Al Fayyadl, Gus Fayyadl. Menurutnya, kita umat Islam saat ini masih terjebak oleh kepentingan-kepentingan elit oligarki. Selain kita juga terjebak dalam politik praktis dan pragmatis. Ini mungkin bisa menjadi bahan referensi kita dalam konteks membangun gerakan Islam.
Gus Fayyadl, juga mengajak agar gerakan-gerakan Islam jangan hanya membangun narasi-narasi kebangsaa. Gerakan Islam haruslah lebih dari itu yaitu membangun Islam yang rahmatan lil alamin. Melalui geraan yang sifatnya internsioalisme. “Kita jangan terjebak pada persoalan nation state, padahal ada isu-isu penting seperti rasisme yang juga umat Islam harus suarakan. Ummat Islam dan geraknnya haruslah punya peran di dunia internasioanl, bukan hanya berjuang pada kedaulatan secara global”. Kata Gus Fayyadl dalam pemaparannya.
“Titik tolak gerakan kita harus diubah, titik tolaknya harus dari gerakan internasinalisme jangan hanya nasionalisme. Pembelaan terhadap kalangan mustadafin misalnya itu bisa dijadikan pembangunan gerakan umat Islam. Kelompk mustadafin ini tidak memiliki negeri. Gerakan Islam harus sudah mengarah kepada isu-isu yang substantif dan tidak terjebak pada isu-isu yang simbolik”. Jelas Gus Fayyadl.
Untuk mencapai itu semua harus diupayakan yang namanya rekayasa intelektual. diperlukan duduk bersama untuk membangun gerakan Islam. Untuk bersama-sama memikirkan persoalan ummat Islam. Perlu dibangunnya agenda kebudayan dan kultural agar gerakan Islam lebih terstruktur, platform yang jelas, sehingga menjadi sebuah bentuk baru gerakan Umat Islam. Terang Muhammad Khutub, Direktur Dialektika dalam statemen closing diskusi virtual.