Menjadi Santri di Era Poskolonial

Kyai Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-Orang dari Pesantren menjelaskan dengan sangat menarik tentang identitas kesantrian: “Para santri adalah anak-anak rakyat, amat paham tentang arti kata rakyat, paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangat dan cita-citanya, suka-dukanya, tentang nasibnya dan segala lika-liku hidup rakyat, santri lahir dari sana, demikian mereka hidup dan lalu mati pun di sana pula. Sebab itu, para santri dan kiai sangat paham tentang arti hidup dalam penjajahan.”

Ahmad Baso dalam Pesantren Studies memahami kutipan di atas dalam tiga kerangka dasar; aspek ontologis, aspek epistemologis dan aspek aksi dan praksis nyata.

Untuk pertama, aspek ontologis ditarik dari kutipan; “Para santri adalah anak-anak rakyat,” “lahir dari rakyat, hidup dan mati pun di sana”. Kata “anak-anak rakyat” ini dapat ditafsirkan sebagai salah satu bentuk penegasan mengenai kepastian genealogis sekaligus akar asal usul sosiologis dan kultural kaum santri. Ibarat pohon, kaum santri adalah buahnya sementara rakyat adalah akarnya.

Secara sosiologis, kepentingan kaum santri tentu sangat merepresentasikan kepentingan rakyatnya. Mereka mengabdi untuk rakyatnya dan lalu matipun di tengah-tengah mereka. Setelah menyebut santri sebagai anak-anak rakyat, Kyai Saifuddin Zuhri lalu melanjutkan: “Rakyat adalah kaum tani, pedagang kecil, tukang-tukang, mereka adalah bapak-bapaknya kaum santri”. Jika kita melihat dalam catatan kolonial Belanda, misalnya, dalam lampiran surat serah terima Residen Yogyakarta, Dingemas, ada 70 tajuk pokok yang menyangkut wong cilik. Mereka dilihat dari segi pekerjaannya: pembersih jalan, penjaga, tukang kebun, kuli angkut, pengrajin kecil, tukang delman, tukang bangunan, pegawai rendah dan lain sebagainya.  Wong cilik adalah asal muasal identitas kesantrian terbentuk.

Karena itu, Saifuddin Zuhri menyebut “kaum tani, pedagang kecil, tukang-tukang” sebagai “bapak-bapaknya kaum santri.” Untuk mengungkap arti “sangat paham tentang arti hidup dalam penjajahan”, tentu bagi Zuhri yang pernah berjuang melawan penjajahan, kaum santri harus lahir dari lingkungan yang memandang kolonialisme sebagai bentuk eksploitasi dan penjajahan terhadap kemanusiaan. Mereka mengerti betul dan pernah mengalami secara langsung bagaimana penjajahan dan imperialiasme merupakan musuh yang harus dihancurkan; mereka memandang bahwa kolonialisme merupakan sebuah bencana yang memosisikan rakyat sebagai korban.

Sementara aspek kedua, aspek epistemologis dapat kita lihat pada kutipan “amat paham tentang arti kata rakyat, paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangat dan cita-citanya, suka-dukanya, tentang nasibnya dan segala lika-liku hidup rakyat”.  Karena berasal dari rakyat, pengetahuan santri tidak harus melulu mencakup kitab yang dibaca. Santri sejati ialah santri yang amat paham tentang tentang seluk beluk bangsanya. Bukan santri jika yang ada dalam pikirannya ialah ide-ide liar yang merusak tradisi, cara hidup, jalan pikiran, semangat dan cita-cita kebangsaan. Santri sejak di masa kolonial tidak hanya mewarisi kekayaan tradisi intelektual Islam klasik namun juga mewarisi tradisi rakyat dimana ia tinggal. Dengan kata-kata lain, santri adalah punggawa bangsa.

Sebagai contoh sederhana, seringkali kita menganggap tradisi yang dipraktekan leluhur kita terkait dengan ritual-ritual tertentu sebagai takhayul, khurafat dan bid’ah padahal kita tidak tahu betul apa makna sebenarnya di balik praktik tersebut. Lebih parah lagi sebagian kita mencapnya sebagai syirik. Padahal kalau ditelisik lebih jauh, ternyata praktek tersebut merupakan kreativitas masyarakat pesantren berbasis pemahaman subtantif terhadap sunnah Nabi SAW. Sayangnya, kebanyakan orang kurang memahami atau bahkan dengan argumen modernitas, mereka anggap tradisi itu kuna.

Ketika membangun rumah, misalnya, secara adat kita diwajibkan untuk menancapkan janur kuning pada bagian atas rumah. Itu diyakini dapat mendatangkan kebaikan dan menolak bala. Sebagian orang menganggap praktek ini sebagai syirik yang tidak ada rujukannya dalam al-Quran dan sunnah. Sayangnya pula kaum santri saat ini tidak mampu lagi memahami semangat dan kandungan makna yang terdapat dalam praktek tersebut.

Menurut Koentjaraningrat dalam buku antropologinya yang berjudul Ritus Peralihan, masyarakat Nusantara ketika memiliki maksud atau hajat tertentu dalam hidup memiliki tradisi penyajian makanan atau benda-benda tertentu yang sangat unik. Semua unsur sajian itu pada hakikatnya, kata Koentjaraningrat, jika dilihat dari aspek nama, bentuk, sifat atau warnanya mengandung makna dan lambang tertentu.

Tiap-tiap benda itu, menurutnya, mengutarakan harapan tertentu.  Misalnya, Janur (daun kelapa muda) singkatan dari kata jatining nur yang berarti cahaya yang hakiki. Cengkir (kelapa muda) singkatan dari kata kencenging pikir yang berarti ketetapan hati. Tebu singkatan dari anteping kalbu berarti kehendak yang kuat. Kupat luwer berasal dari kata laku papat dan luwar, empat jalan menuju kebebasan. Pisang ayu suruh ayu, ayu adalah rahayu yang berarti selamat dan sejahtera. Penyajian janur kuning, cengkir, tebu, kupat, pisang rahayu dan lain-lain ini seolah mengharap kepada Tuhan agar rumah yang ditempati penuh dengan cahaya (janur) sebagai simbol turunnya rahmat-Nya dan bagi yang tinggal di dalamnya memiliki keteguhan hati (cengkir), kehendak yang kuat (tebu), bebas dari belenggu (kupat), selamat dan sejahtera (pisang).

Contoh lain dari tradisi semacam ini ialah kebiasaan orang-orang Jawa dalam membagikan kue apem, ketan dan kolak.  Bagi komunitas pesantren di masa itu, Jawa terutama, makanan tersebut memiliki makna tersendiri. Misalnya apem diasosiasikan orang jawa sebagai kata yang berasal kata Arab afwun yang artinya “minta maaf”; Ketan dihubungkan sebagai kata Arab khata’an yang berarti “kesalahan”; Kolek meski melenceng dari pelafalan yang sebenarnya, diasosiasikan dengan kata Arab kholiq yang artinya pencipta. Dengan demikian, membagi-bagikan sajian dengan ketiga jenis makanan tadi mengandung arti meminta ampun kepada Allah atas kesalahan yang telah diperbuat.

Sayangnya, menurut Koentjaraningrat, orang-orang saat ini tidak memahami lagi makna-makna simbolis yang tersembunyi di balik nama makanan dan benda-benda tersebut.

Melalui penjelasan ini, santri sejati ialah santri yang paham seluk-beluk budaya rakyatnya. Apem, ketan dan kolek dengan asal bahasa Arabnya tentu tidak akan lahir di luar tradisi pesantren. Kata-kata Arab untuk nama-nama makanan ini lahir dari jantung tradisi santri yang berangkat dari kebiasaan mereka bergumul dengan rakyat. Tidak sekedar kemampuannya memahami kitab kuning, santri  juga sangat paham betul tradisi dan budaya bangsanya. Sejarah mencatat betapa santri di masa lalu merupakan santri yang menguasai banyak bahasa. Dalam Suluk Gatholoco, kita dapat menemukan teks berikut:

Kawruh Lônda Jawa Cina

Bênggala Koja Turki lan Kêling

kabéh iku wus kacakup

sun simpên anéng kasang

kawruh Arab ajar timur kongsi lamur

ngélmu Jawa nora kurang

dhasar ingsun bôngsa Jawi

“Pengetahuan tentang bahasa-bahasa Belanda, Cina, Bengali [Persia], Koja [Arab], Turki dan India [Sansakerta], kami santri bertiga [Mat Ngarip, Ngabdul Jabar, Ngabdul Manap dari Pesantren Arjasari] sudah menguasai semuanya. Kami punya semua [kamusnya] di dalam tas kami. Kami mempelajari bahasa Arab dari masa muda hingga di masa tua; demikian pula, Ngelmu Jawa [kami sudah kuasai], tiada satu pun yang kurang, karena kami sendiri adalah orang-orang Jawa.”

Simpulnya, menjadi santri berarti menjadi orang yang berusaha memahami betul warisan keislaman sekaligus budaya bangsanya. Bahkan lebih dari itu, menjadi santri berarti harus bersikap anti-kolonialisme. Artinya, seorang santri haruslah menjadi poskolonial: berusaha terus menerus melawan segenap manifestasi imperialisme dan kolonialisme asing yang akan merusak dan menghancurkan tatanan bangsanya. Santri sangat anti penjajahan dalam berbagai bentuknya.

Selamat hari santri!

Artikel ini pertama kali terbit di go muslim

Leave Your Comments

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Copyright 2021, Dialektika.or.id All Rights Reserved