Monoteisme Radikal sebagai Kosmologi “Pembaruan Islam” Cak Nur
Waktu menjadi santri di pondok pesantren al-Basyariyyah sekitar 15 tahun lalu, saya sebenarnya sudah pernah diperkenalkan sejak dini gagasan-gagasan Nurcholis Madjid atau Cak Nur.
Saat itu, saya sangat akrab dengan seorang Ustadz yang rakus ilmu pengetahuan, Ustadz Zezen Zainal Alim. Beliau merupakan seorang Ustadz yang unik: seorang hafidz al-Quran namun sangat gandrung mempelajari ilmu-ilmu sosial dan pemikiran kefilsafatan. Dan terlebih lagi, beliau sangat mengagumi pemikiran Cak Nur.
Ustadz inilah yang memperkenalkan saya untuk pertama kalinya gagasan-gagasan sang lokomotif pembaruan Islam di Indonesia. Bahkan saat itu, saya sangat tertarik dan bertekad untuk melahap dan memamah biak gagasan-gagasan mantan Ketua Umum PB HMI ini.
Akhirnya saya beli karya-karya penting Cak Nur. Saya lahap membaca buku Islam, Doktrin dan Peradaban, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Dialog Keterbukaan dan beberapa karya lainnya. Saya coba khatamkan satu persatu buku-buku tersebut. Tentu masih di bawah bimbingan Ustadz.
Di umur yang masih remaja itu, memang saya tidak mengerti betul dengan semua yang saya baca. Saat itu, saya masih mengeja kata perkata ulasan yang dikemukakan Cak Nur dalam berbagai persoalan sambil mendiskusikan dengan Ustadz.
Menariknya, selama di pesantren, saya malah tidak pernah khatam membaca kitab-kitab kuning. Buku yang khatam pertama kali dan saat itu belum saya mengerti betul isinya: Islam, Doktrin dan Peradaban, Pintu-Pintu Menuju Tuhan dan Pesan-Pesan Takwa, Kaki Langit Peradaban Islam, dan beberapa buku yang dibaca Cak Nur seperti Islam Observed-nya Clifford Geertz, The Venture of Islam Marshal Hudgson dan lain-lain. Jujur saja, walaupun khatam, saya tidak mengerti.
Namun saya beruntung berkenalan dengan sosok ini. Paling tidak, gagasan-gagasan yang saya pahami saat itu menjadi kerangka awal pergumulan dengan tradisi pemikiran Islam yang luas di masa-masa perkembangan intelektualku selanjutnya.
Lewat Cak Nur, saya kenal al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Arabi, dan terlebih lagi Ibnu Taymiyyah. Lewat Cak Nur, saya dikenalkan dengan kitab-kitab tafsir berbahasa Inggris karya Yusuf Ali, Muhammad Asad dan Marmaduke Pickthall.
Lewat Cak Nur pula, saya dikenalkan dengan tradisi kesarjanaan Barat seperti Clifford Geertz dan Marshall Hudgson. Dan yang lebih penting lagi, lewat Cak Nur saya juga dikenalkan dengan corak pemikiran yang mencoba mensintesakan keislaman, kemodernan dan keindonesiaan dalam satu tarikan nafas yang sama.
Singkatnya, membaca karya-karya Cak Nur mengantarkan saya ke samudera intelektualisme Islam Arab, kesarjanaan modern dan sentuhan keindonesiaan.
Itulah sekelumit perkenalanku dengan sosok Cak Nur melalui buku-bukunya yang kupelajari ketika mesantren di Pondok Pesantren al-Basyariyyah Bandung. Tulisan ini tidak berpretensi untuk bernostalgia dengan pengalaman masa lalu ketika semangat-semangatnya membaca. Tulisan ini sekedar untuk merefleksikan keunikan dan kesinambungan pemikiran Cak Nur yang kupahami saat itu.
Menurut Ahmad Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam, Cak Nur mengalami perubahan pemikiran secara drastis ketika melanjutkan pendidikannya di Chicago Amerika Serikat.
Bahkan, ada yang menilai bahwa Cak Nur terkesan tidak konsisten dengan pemikiran-pemikiran pembaruan yang dikembangkannya baik sebelum ke Amerika maupun dengan yang setelahnya.
Sepanjang memahami beberapa karyanya, baik yang pra maupun yang pasca Chicago, Cak Nur masih tetap konsisten dengan proyek pembaruannya. Konsistensi tersebut terletak dalam gagasan-gagasan pembaruannya yang digerakkan oleh kosmologi monoteisme radikal.
Bagi saya pribadi, “sekularisasi”, “liberalisasi” dan “rasionalisasi” yang digaungkan dalam semangat pembaruan pemikiran keislaman Cak Nur di masa itu, semuanya masih dalam naungan paham monoteisme radikal.
Monoteisme radikal ini makin menguat lagi ketika Cak Nur dibimbing Fazlurahman untuk menulis disertasi mengenai Ibnu Taymiyyah, sosok yang merupakan leluhurnya kaum Wahhabi yang puritan soal tauhid.
Baiklah, kita ulas terlebih dahulu apa yang saya maksud di sini sebagai monoteisme radikal dan implikasinya bagi “pembaruan Islam” dan kaitannya dengan konsep turunanya seperti “liberalisasi”, “sekularisasi” dan “rasionalisasi” ala Cak Nur.
Paham monoteisme radikal yang dianut Cak Nur dapat kita lihat secara jelas dalam Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI yang dibuatnya. Cak Nur mengemukakan “Dasar-Dasar Kepercayaan” dalam NDP sebagai berikut:
“perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain Alllah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan ‘tidak ada Tuhan’ meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan ‘selain Allah’ memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran.”
Dengan merumuskan makna kalimat “syahadat” dalam pengertian yang sangat berbeda dengan pengertian yang jamak dikenal pada saat itu seperti yang telah disebut di atas, Cak Nur akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari semua belenggu kepercayaan yang ada dengan segala konsekuensinya.
Pengecualian dalam “Syahadat” ini, oleh Cak Nur dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, dan itu berarti tunduk kepada Allah.
Menurut Cak Nur, konsep peniadaan dan pengecualian atau negasi dan afirmasi atau negasi dan transendensi ini merupakan “satu-satunya sumber dan pangkal nilai” kebenaran. Bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama, “transendensi” tidak akan terwujud secara sempurna dan murni tanpa adanya “negasi”.
Sebaliknya, “negasi” tidak akan memiliki pijakan artinya, bahkan bisa jadi seseorang akan menjadi nihilis, bila tidak diikuti oleh penegasan akan sesuatu yang berada di luar sejarah, yaitu sesuatu yang “transenden,” sesuatu yang menjadi “Pangkal Kebenaran”.
Inilah monoteisme radikal yang saya maksud yang dipegang oleh Cak Nur dengan dua elemen utamanya: “negasi” dan “afirmasi”.
Lalu pertanyaannya, apa relevansi “negasi” dan “afirmasi” ini bagi proyek pembaruan Islam Cak Nur di tahun 70-an?
Tampaknya, “negasi” dan “afirmasi” atau “transendensi” inilah yang menjadi kerangka acuan Cak Nur dalam merumuskan beberapa konsep kunci bagi proyek pembaruan Islamnya di masa itu.
Dalam tulisan yang cukup memantik kontroversi di tahun 1970-an, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, Cak Nur tampaknya menerapkan “negasi” dan “afirmasi” secara lebih luas dalam proyek pembaruan islamnya ini:
“….pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional (negasi), dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke depan (afirmasi).”
Untuk mewujudkan ini, menurut Cak Nur, sangat diperlukan proses liberalisasi. Proses ini, katanya, ditujukan terhadap ‘ajaran-ajaran dan pandangan Islam’ yang ada sekarang ini.
Kita dapat melihat bahwa “negasi” ini dibahasakan ulang oleh Cak Nur dengan sebutan liberalisasi terhadap ‘ajaran-ajaran dan pandangan Islam’ yang dianut Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan PUI.
Dalam konteks liberalisasi ini, Cak Nur mengutip pandangan Andre Beufre yang masih sesuai kerangka konseptual yang dibangunnya “negasi”: “Our traditional lines of thought must go overboard…”.
Jadi konsep liberalisasi ini dimungkinkan dengan melepaskan diri kita dari belenggu tradisi masa silam yang menghambat kemajuan, membekukan pemikiran-pemikiran bebas dan perkembangan pengetahuan.
Proyek liberalisasi pemikiran Islam ini diartikulasikan secara lebih jelas lagi dengan konsep lainnya, “sekularisasi”. Sekularisasi ala Cak Nur ini jangan dipahami sebagai pemisahan agama dan negara.
Dalam pembaruan Islam ala Cak Nur, konsep ini malah diisi dengan kosmologi negasi-afirmasi yang menjadi elemen penting bagi paham monoteisme radikal yang dianut Cak Nur.
Kita dapat lihat misalnya, bagaimana Cak Nur memahami sekularisasi tidak seperti yang jamak dipahami di kalangan pemerhati ilmu-ilmu sosial.
Istilah ini di tangan Cak Nur diislamkan sehingga sesuai dengan kosmologi monoteisme radikal yang dianutnya. Menurut Cak Nur, sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis. Tidak seperti itu.
Cak Nur berpandangan bahwa sekularisasi ialah proses “menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.”
Menurut Cak Nur, sekularisasi seperti ini senada dengan yang dikemukakan Harvey Cox dalam The Secular City. Harvey Cox menyebut “sekularisasi” sebagai “liberating development,” yang diterjemahkan Cak Nur sebagai “perkembangan pembebasan”. Namun, saya lebih memilih menerjemahkannya sebagai “perkembangan yang membebaskan.”
Saya kira terjemahan ini lebih sesuai dengan yang dimaksud Cak Nur sendiri sebagai “menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.” Sebab, sejatinya sekularisasi dalam kacamata Cak Nur ini merupakan perkembangan yang membebaskan.
Jadi singkat kata, sekularisasi di tangan Cak Nur merupakan usaha untuk “mendesakralisasi yang profan dan mensakralisasi yang sakral”.
Pengertian sekularisasi yang seperti ini jelas lahir dari konsep utamanya: “negasi” dan “afirmasi” yang merupakan komponen utama monoteisme radikal, yaitu bahwa yang wajib disakralkan dan ditransendenkan hanya Allah, sedangkannya lainnya hanya relatif dan semua.
Dengan kata-kata lain, selain Allah, seperti nilai-nilai, ajaran-ajaran, keyakinan-keyakinan yang merupakan rumusan manusia, dianggap relatif dan karenanya bisa disekularisasi.
Cak Nur menegaskan bahwa “pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan harus melahirkan desakralisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya”.
Sebab, kata Cak Nur, “sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah, pada hakikatnya, yang dinamakan syirik” yang merupakan lawan dari tauhid atau sikap monoteisme radikal. Cak Nur kemudian mengkongkritkan kembali makna sekularisasi sebagai proses “desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiah (transendental), yaitu dunia ini”.
Cak Nur secara lebih jauh menegaskan bahwa yang dikenai proses desakralisasi itu ialah segala obyek duniawi, baik moral maupun material. Dan di antara obyek duniawi yang bersifat moral, kata Cak Nur, ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat material ialah benda-benda.
Cak Nur juga membedakan apa yang disebutnya sebagai sekularisme dan apa yang disebutnya sekularisasi.
Yang pertama itu dilarang karena sama saja dengan menghapus kepercayaan kepada Tuhan sedangkan yang kedua sangat dianjurkan. Cak Nur mengatakan: “agama Islam pun, bila diteliti benar-benar, dimulai dengan proses sekularisasi lebih dahulu. Justru ajaran Tauhid itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi secara besar-besaran.”
Lagi-lagi di sini kita melihat bahwa Cak Nur masih dalam kerangka monoteisme radikal yang dianutnya dalam menjelaskan sekularisasi. Dan memang di awal Islam, salah satu prinsip tauhid ialah menegasikan kepercayaan kepada berhala-berhala yang profan, alias desakralisasi dan menegaskan Allah sebagai Tuhan yang Transenden, alias sakralisasi.
Sebut saja sekularisasi ini ialah sikap menempatkan sesuatu pada tempatnya: mensakralkan yang sakral dan tidak mensakralkan yang tidak layak disakralkan.
Lalu apa kaitannya sekularisasi dengan rasionalisasi? Cak Nur menegaskan bahwa terdapat konsistensi antara sekularisasi dan rasionalisasi. Inti sekularisasi ialah “pecahkan dan pahami masalah-masalah duniawi ini dengan mengerahkan rasio atau kecerdasan nalar”.
Lebih jauh, Cak Nur juga melihat adanya konsistensi antara rasionalisasi dan desakralisasi. Sebab, tidak mungkin kita bisa memahami sesuatu secara rasional jika sesuatu tersebut disakralkan terlebih dahulu.
Menurutnya, sebelum kita memecahkan dan memahami secara rasional terhadap sesuatu, maka sesuatu tersebut harus dibebaskan dulu dari bungkus sakralitas dan bayang-bayang ketabuan. Baru setelah itu, sesuatu tersebut dapat digali secara rasional.
Karena itu, kata Cak Nur, untuk kembali ke prinsip tauhid dalam kalimat syahadat, kita harus mantap untuk tidak men-tabu-kan sesuatu. Tuhan-lah yang tabu dan layak di-tabu-kan dan karenanya tak akan mungkin dimengerti oleh manusia melalui rasionya.
Pandangan Cak Nur terkait sekularisasi dan kaitannya dengan rasionalisasi ini jelas merupakan bentuk penghargaannya terhadap kebebasan rasio untuk melakukan penyelidikan dan pengamatan terhadap benda-benda obyektif yang ada di alam semesta ini serta hukum-hukum yang melandasi gerak lajunya.
Sampai di sini, kita melihat bahwa pembaruan Islam yang digaungkan Cak Nur di era 70-an beserta konsep-konsep yang menyertainya seperti liberalisasi, sekularisasi dan rasionalisasi tidak lain lahir dari pandangan dunia Cak Nur sendiri yang berbasiskan pada paham monoteisme radikal seperti yang dirumuskannya dalam NDP HMI.
Pandangan dunia inilah yang mewarnai gagasan-gagasan pembaruan Islamnya. Pandangan ini pula yang mempengaruhi pemaknaannya terhadap konsep-konsep kontroversial tersebut. Dan saya kira konsep-konsep kunci dalam pembaruan Islam Cak Nur ini masih sangat relevan untuk kita pahami dan kita terapkan dalam memahami Islam dan berbagai fenomena agama, sosial, dan politik umat Islam yang saat ini yang masih terbelenggu oleh paham yang meng-ukhrawi-kan yang duniawi. Allahu A’lam. (*)
Penulis: Abdul Aziz (Direktur Kajian dan Studi Islam Lembaga Dialektika)